DATA KARYAWAN ENGAGEMENT
Para kaum HR wajib mengetahui masalah ini.
Sebelum ini hubungan karyawan dengan perusahaan dimaknai dengan hubungan yang sangat sederhana sekali. Hubungan transaksional yang simpel. Karyawan bekerja sesuai dengan job disk yang sudah ditentukan kemudian pihak perusahaan memberikan upah (gaji), cuti, THR, BPJS, dan sebagainya.
Bahkan Gallub pernah merilis hasil riset yang hasilnya cukup mengejutkan. Riset tersebut menyimpulkan bahwa ternyata hanya 30% karyawan dan 35% manajer yang memiliki engagement (keterikatan) dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Padahal keterikatan karyawan ini menentukan antusiasme, komitmen, dan produktivitas pegawai dalam bekerja dan terhadap tempat kerja mereka.
Bisa dibayangkan jika ternyata hanya 30% karyawan dan 35% manajer yang memiliki engagement dengan perusahaan, berarti hanya sebagian kecil dari karyawan yang memiliki loyalitas positif dengan berkontribusi penuh terhadap perusahaan. Sedangkan sebagian besar lainnya bisa diartikan hanya menjadi beban buat perusahaan. Fakta demikian tentunya menjadi kerugian buat perusahaan.
Dengan produktivitas yang terbilang rendah, mereka mendapatkan kompensasi yang tidak sebanding, lebih tinggi dari seharusnya. Oleh karena itu, menjadi bisa dipahami mengapa perusahaan dalam melakukan transformasi sering berjalan lambat atau bahkan berujung pada kegagalan karena hal tersebut. Perusahaan sudah menginvestasi dana yang besar untuk mendapatkan engagement karyawan, namun nyatanya tidak demikian dampak yang dihasilkan.
Perusahaan hanya mempersepsikan bahwa dengan memenuhi apa yang menjadi keinginan karyawan misalnya dengan kompensasi yang menarik, ruang kerja yang nyaman, dan flexy time dalam bekerja, maka dengan sendirinya Perusahaan berharap akan mendapatkan engagement karyawan. Namun ternyata, tidak selalu berjalan linear. Di satu sisi, karyawan sendiri merasa bahwa apa yang diterimanya sudah sebanding dengan apa yang dikontribusikannya.
Bahkan bagi sekelompok karyawan yang tidak memiliki engagement, tidak berpikir masalah kontribusi. Mereka hanya berusaha mempertahankan status quo dengan zona nyaman yang dinikmatinya. Namun bias dampak dari paham engagement semacam itu tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada karyawan. Paradigma dan pendekatan perusahaan dalam membangun engagement karyawan bisa menjadi salah satu penyebabnya. Oleh mereka engagement dimaknai dengan pemahaman yang sempit sehingga terjemahan dalam kebijakan perusahaan pun menjadi terdistorsi. Akibatnya, karyawan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk mengembangkan budaya kerja. Tracy Maylett dalam bukunya Engagement Magic (2019) menyatakan bahwa salah satu kesalahan terbesar dari organisasi dalam memaknai engagement adalah menyodorkan sesuatu fasilitas kepada karyawan secara transaksional.
Jika perusahaan memberikan berbagai fasilitas, maka karyawan dituntut harus memiliki engagement terhadap pekerjaan. Seakan menjadi keterpaksaan bagi karyawan untuk mengerjakan sesuatu sebagai kontra prestasi dari apa yang telah diberikan perusahaan kepadanya.
Tracy melanjutkan pendapatnya bahwa engagement itu bukan hanya soal perasaan (feeling), tetapi juga berpadu dengan aksi (action). Karyawan yang memiliki engagement dapat diukur dari aksi dalam bentuk kontribusi terhadap perusahaan. Sedangkan bagi karyawan yang hanya merasakan kepuasan dengan kontribusi yang rendah, hanya berada pada tataran kepuasan karyawan (employee satisfaction). Tataran dasar yang belum berkorelasi kuat dengan aksi kontributif.
Berdasarkan info yang lain sebuah survei yang baru saja dirilis mengungkapkan bahwa 26% pekerja di Amerika Serikat tengah mempersiapkan diri untuk mencari kesempatan kerja baru, dan 40% pekerja secara global tengah mempertimbangkan untuk meninggalkan tempat kerja mereka pada akhir tahun ini. Hasil survei ini tentunya menarik untuk dipertimbangkan. Bahwa ternyata engagement bakal tetap menjadi isu sentral di masa depan.
Jika dalam 26% dan 49% sebagaimana dikutip dari riset Gallup tersebut termasuk karyawan yang masuk dalam top talent yang tidak memiliki engagement, maka akan menjadi kerugian besar buat perusahaan dengan kehilangan aset terbaiknya. Oleh karena itu itu mendefinisikan ulang dan memperbaiki implementasi dari kebijakan engagement di perusahaan menjadi prioritas.
Bahwa tak bisa dipungkiri engagement
Daniel Shapero COO Linkedln dalam artikelnya berjudul 2022: A New World of Work is Revealed (2021) membuat prediksi bahwa ke depan pekerja mulai berpikir ulang tidak hanya bagaimana mereka bekerja dan di mana mereka bekerja, tetapi mengapa mereka bekerja (why they work). Prediksi ini mengindikasikan bagaimana perusahaan seharusnya mampu menjawab pencarian "mengapa" dari karyawan ketika memilih bekerja di suatu perusahaan.
Ini menunjukkan betapa karyawan dalam bekerja tidak sekadar bekerja, tetapi bagaimana bekerja juga memenuhi pencarian makna (meaning) yang mereka inginkan. Sebut saja para generasi milenial yang merupakan populasi terbesar dari tenaga kerja, ternyata dari hasil survei mengungkapkan bahwa mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Menyadari akan hal tersebut, perusahaan yang memiliki komitmen dalam mengintegrasikan prinsip Environmental Social and Governance (ESG) dalam praktik bisnisnya bisa jadi akan paling berpeluang menjadi perusahaan dengan tingkat engagement karyawan yang tinggi. Demikian pula halnya dengan perusahaan yang paling mampu menginternalisasi core values secara efektif. Perusahaan tersebut akan memiliki manajer-manajer yang digerakkan dengan nilai (value-driven) sehingga karyawan merasa memiliki role model dan keberadaan mereka dihargai dengan diberi ruang untuk turut memberi makna dalam bekerja. Bukankah mereka wajib mempunyai rasa memiliki perusahaan?
Have a nice day.
NB: Dari berbagai sumber. Silahkan diklik gambar tiga baris sejajar cari kata ARSIP untuk mencari artikel yang lainnya. Terima kasih.
Posting Komentar untuk "DATA KARYAWAN ENGAGEMENT"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.