Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

WANITA NEKAT BERKARYA DI TENGAH KEPUNGAN BERBAGAI STIGMA

Ini, saya mohon maaf dulu ya, karena saya tidak berbicara dari sudut keilmuan namun dari segi pengalaman dan pengamatan saja.


Seperti yang sudah pernah saya tulis, sebenarnya saya berkarya dalam menulis sudah sejak lama sekali. Sejak kelas 3 SMP. Awalnya saya "hanya" sangat tertarik dengan dunia tulis menulis. Meskipun belum dapat dikatagorikan serius tapi tangan saya sudah bergerak untuk menulis. Dan, alhamdulilah, ada beberapa karya tulisan yang berhasil saya buat. Tidak berupa sebuah karya besar tapi kata para teman "sudah lumayan" untuk dinikmati (dibaca). Bukan dengan tanpa mendapat kritikan. Kritikan datang menyerbu dari kanan dan kiri. Tapi ya tidak apa-apa, karena datangnya dari teman-teman saya sendiri, hihihi. Lho, mereka dapat melontarkan kritikan tentu karena sudah membaca tulisanku kan? Kalau tidak darimana datanya? Kegiatan menulis sempat tersendat karena harus tancap gas harus ngebut belajar. Padahal pada waktu itu tulisanku masih banyak yang bersifat opini. Lebih bernuansa impian meskipun banyak "yang bersandar" kepada logika. Bukankah faktor utama yang disukai oleh para pembaca adalah faktor logika? Padahal faktor fakta juga memegang peranan yang sangat penting bukan? 


Pada waktu itu yang "sempat laris" adalah masalah motivasi dan masalah tentang "fenomena cinta monyet". Baik dibahas secara terpisah, maupun digabung sekalian antara keduanya. Lho, berkisah tentang cinta monyet itu asyik lho. Kaya akan sisi-sisi panorama yang susah untuk digambarkan. Tapi justru yang asyik untuk dinikmati. Terkadang semakin dirasa belum tentu terjadi, semakin asyik, semakin heboh, semakin sedap rasanya. Bayangkan, jika berkisah tentang indahnya bila kita akan bersatu, padahal belum tentu akan bersatu karena orang tua belum tentu akan setuju. Bagaimana tidak? Maklum masih kelas 3 SMP. Alamak.  


Sayang waktu itu belum marak komputer. Jadi hasil karya saya tidak dapat disimpan. Kalaupun ada yang menjual di tempat yang dekat rumah, keluargaku tidak akan mampu membeli. Maklum keluarga kami termasuk "berekonomi tiarap". Intinya aku "berangkat berkarya menulis" dengan tanpa beban.


Guno Display

Yang malah sempat terlintas di pikiranku adalah tentang "bagaimana para teman wanita berkarya? Baik di bidang tulis menulis maupun di bidang yang lainnya. Secara umum, seperti yang kita ketahui, para wanita pada mulanya adalah kaum pemalu. Setidaknya didominasi oleh kaum seperti itu. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mencoba mengetahuinya. Betapapun ada kesan steoritip di sana. Namun nyatanya di masa itu muncul nama Laila S. Chudori yang sukses menggebrak media cetak (tulis menulis) di Jakarta. Sebenarnya ada beberapa nama lagi tapi yang sangat menonjol karena sering muncul tulisannya ya si Laila S. Chudori ini.


Sejatinya stereotip yang mengatakan bahwa para wanita merupakan makhluk yang lemah sudah lama melekat pada diri seorang wanita. Mereka dianggap sebagai makhluk yang rapuh, cengeng, perasa, mudah terluka dan tidak dapat diandalkan. Seolah-olah itulah identitas wanita yang sebenarnya. Padahal tidak. Apalagi saat ini para wanita telah mampu mendobrak stigma tersebut. Segelintir dari mereka melawan arus dari aturan-aturan yang secara tidak resmi telah tertanam sangat kuat di masyarakat. Mereka sudah berhenti bicara menggunakan mulutnya. Mereka lebih memilih diam dan secara diam-diam menghasilkan karya serta prestasi.


Tentu ini bukan merupakan usaha yang mudah. Harus ada "pemberontakan". Secara ekstrim bila perlu. Salah satu kuncinya, harus mengetahui potensi yang ada pada diri sendiri dulu. Dapat  dikatakan, wanita saat ini jauh lebih rasional dibandingkan perasa. Dengan demikian diharapkan dia dapat memahami potensi yang tertanam pada dirinya. Satu rumusnya, boleh mendengarkan perkataan orang lain namun tidak perlu terlalu dipikir.


Tentu harus disadari bahwa yang paling tahu kemampuan seseorang adalah diri sendiri. Begitu juga pada diri seorang wanita. Terus fokus pada mimpi, jangan menoleh kanan dan kiri. Mereka, para wanita itu  menyadari bahwa mereka adalah tuan bagi diri mereka sendiri. Merekalah yang paling tahu kemampuan mereka. Akan dibawa ke mana perjalanan diri mereka, akan singgah atau berhenti di mana di dalam perjalanan itu. Awalnya mungkin akan sedikit terasa cemas untuk melangkah, tapi lihatlah para wanita yang ada di depan sekarang. Mereka semua bergerak maju. Mereka fokus pada mimpi dan terus bergerak guna mengguratkan karya.


Mereka menyadari untuk mengesampingkan rasa insecure (perasaan tidak percaya diri, malu, takut, gelisah dan tidak aman yang disebabkan oleh rendahnya penilaian terhadap diri sendiri). Makin lama membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain, maka dia akan semakin jatuh. Semakin terjatuh dari ketinggian yang ada, semakin sakit rasanya.


Mereka menyadari bukan saatnya lagi untuk merasa insecure karena kurang cantik, kurang ideal, atau kurang segalanya. Mereka merasa berharga. Perlu berhenti untuk membanding-bandingkan diri. Mereka menyadari semua orang memiliki pencapaian masing-masing, maka mereka harus  bangun untuk mendapatkan pencapaian sendiri. Usaha, kerja keras dan doa adalah kuncinya karena menjadi wanita mandiri memang tidak pernah mudah. Oleh karena itu sekali mencecap manisnya keberhasilan, dia tidak akan pernah menyesalinya.


Dulu sempat ada pendapat steoritip dimana wanita tidak boleh memiliki jabatan lebih tinggi dari laki-laki. Atau ada pendapat yang lebih ekstrim, sadis. Wanita seharusnya hanya menjadi "konco wingking (teman di dapur). Tidak. Pendapat ini tentu salah. Wanita juga mempunyai hak yang sama. Mereka tidak mau dikotak-kotakkan. Di jaman sekarang mendapatkan jabatan di pekerjaan adalah hal yang wajar. Mereka melangkah penuh percaya diri dan memberikan yang terbaik pada pekerjaan. Mereka sangat menyadari wanita dilahirkan bukan untuk bertanggung jawab atas segala aktivitas rumah tangga. Mereka menyadari  memasak, mengepel, menyuci dan sebagainya bukanlah gender-based skill melainkan life-based skill yang dapat dilakukan baik oleh kaum wanita maupun kaum pria. Kodrat wanita hanya empat saja yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Jika ada orang yang mengatakan kodrat wanita kembali ke dapur, sesungguhnya wanita mampu berbuat lebih daripada itu.


Mereka berani keluar dari zona nyaman, yang sesungguhnya tidak membuat mereka benar-benar aman dan nyaman. Sesungguhnya zona nyaman tidak selamanya nyaman. Terkadang, zona yang dianggap nyaman itu justru menjerumuskan. Yang akan mereka akan terus berkutat pada stigma-stigma tentang wanita yang harus berbuat begini, atau berbuat begitu. Yang dapat membuat tidak  berkutik karena segala sesuatunya dibatasi dengan nilai-nilai kesepakatan. 


Guno feed


Para wanita sekarang berani menentang stigma dan keluar dari zona nyaman. Para wanita sebenarnya dapat melalui batasan-batasan tersebut. Tidak akan ada yang menghentikan bila sudah bertekad penuh. Sesungguhnya berkarya apa saja membutuhkan kenyamanan dan ketenangan, bukan malah berupa kekangan.


Have a nice day.



Notes: Dari berbagai sumber. Silahkan di klik tanda tiga baris di sebelah kanan atas lalu muncul kata ARSIP lalu di klik akan muncul pilihan bulan kapan tulisan dimuat. Insyaallah setiap hari ada tulisan baru.

-

Guno Artikel

Posting Komentar untuk "WANITA NEKAT BERKARYA DI TENGAH KEPUNGAN BERBAGAI STIGMA"