Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sertifikasi dan permasalahannya.

Konon Jepang menjadi negara maju karena sikap mental dan cara berpikir rakyatnya yang memang ingin maju. Tidak hanya ingin, tapi nekat diwujudkan. Dari kehidupan yang porak poranda hancur lebur karena kota Hiroshima dan Nagasaki dibombardir oleh pasukan sekutu hingga sekarang menjadi negara super maju di bidang ekonomi dan tehnologi. Tentu saja itu melalui sebuah proses, step by step, ada pembelajaran, ada konsistensi dan komitmen. Mereka tidak gentar dalam menjalani proses. Mustahil sesuatu dapat terjadi tanpa melalui sebuah proses, meski harus jatuh bangun.


Sikap mental dan kemauan belajar serta meningkatkan kompetensi seperti itulah yang seharusnya kita tiru, kita laksanakan.  Di Indonesia ada Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI). Ditinjau dari segi bahasa Standar Kompetensi terdiri dari dua kata yaitu standar yang berarti ukuransedang  kompetensi yang berarti kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. Dengan demikian secara pengertiannya, SKKNI merupakan suatu rumusan kemampuan kerja yang mencakup beberapa hal yaitu pengetahuan, keterampilan atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai peraturan perundangan yang berlakuOleh karena itu pemerintah menginginkan pendidikan dan pelatihan kejuruan di Indonesia bisa sesuai dengan kebutuhan industri. Pada tahun 2000-an, pemerintah membuka sistem kerjasama dengan negara lain seperti Australia salah satunya dalam otomotif. Hal ini memicu profesi lainnya sehingga terbentuklah perundang-undangan tentang SKKNI.

Di tahun 2017, Kementrian Ketenagakerjaan Indonesia melakukan percepatan SKKNI sampai 624 SKKNI pada Sembilan sektor yaitu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, Pertambangan dan Penggalian, Indsustri Pengolahan, Perdagangan, Listrik, Gas, dan Air Bersih, Hotel dan Restoran, Keuangan, Pengangkutan dan KomunikasiDengan banyaknya SKKNI yang tersedia, maka semakin luas kesempatan Anda untuk meningkatkan kompetensi kerja dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. SKKNI bertujuan sangat mulia sekali yaitu untuk menegaskan, mengesahkan, mengakui kompetensi putra putri Indonesia selaku pekerja yang siap bersaing di kompetesi global dan sebagainya. 

Di Indonesia peningkatan kompetensi sedang dan semakin digalakkanDi masa jabatan di periode ke dua Presiden Joko Widodo sudah menetapkan sebagai masa pembangunan di bidang sumber daya manusia setelah di periode pertama menetapkan pembangunan  di bidang infrastruktur. Dan itu dikuatkan dengan terbitnya surat Edaran (SE) Menaker nomor 5 tahun 2019, namun SE masih bersifat itu hanya sebuah himbauan. Suatu saat bisa saja menjadi Kepmenaker, Surat Keputusan, dan itu baru ada sangsinya. Tapi harus diakui penyebaran terkait sertifikasi ini belum merata sehingga pemantauan dan peningkatan kompetensi ini belum dirasakan merata. Bisa dimengerti salah satunya dengan adanya masa pandemi ini cukup mengakibatkan terjadinya kelesuan di bidang dunia usaha yang tentu saja sangat terkait erat dengan dunia ketenagakerjaan utamanya di bidang sumber daya manusia.

Di sektor pekerja sendiri ada beberapa sikap terhadap sertifikasi ini.

Guno Display
Yang pertama: ada yang masih bingung dan bimbang. Mereka mengkhawatirkan bagaimana cara menghadapinya. Tak hanya bingung dan bimbang mereka takut bagaimana bila akhirnya dinyatakan tidak lulus atau tidak lolos. Padahal apa yang ditanyakan adalah nanti apa yang terkait dengan tugas pekerjaan mereka dan setiap hari dihadapi atau dilaksanakan dalam unjuk kerja. Juga sebelum dilakukan tes ujian diadakan pembelajaran terkait apa yang nanti akan ditanyakan atau diujikan. Memang dalam SKKNI ada bahasa bahasa yang mungkin sukar untuk dipahami. Beberapa teman menyebutnya sebagai bahasa langit, karena bahasanya dirasa kaku, sukar dipahami oleh orang awam. Padahal para assesor selaku pengujinya siap untuk menerjemahkannya dalam bahasa yang lebih lunak, lebih awam, dalam bahasa keseharian.

Rasa takut adalah realistis. Bukan khayalan. Dimulai dari "kengerian" yang terpampang, lama-kelamaan bisa menjadi suatu keyakinan yang mengakar dalam jiwa. Tapi sebenarnya rasa  takut bisa diolah. Perbedaan orang yang tidak bisa berenang dan yang bisa (baca: berani) berenang adalah dalam mengolah rasa takutnya.  Prof. DJ Scwhartz dalam bukunya Berpikir Dan Berjiwa Besar bertutur ada cerita tentang mengatasi takut berenang, caranya, masukkan (dorong) saja ke kolam sekalian orangnya, biar ada usaha berenang. Tapi kita ya harus siap-siap menolongnya. Orang yang punya banyak alasan disebut punya penyakit Excusitis, mohon dipermaklum. Di sisi lain, dalam masalah Sertifikasi, memang ada yang menganggap sertikasi belum penting bahkan tidak penting. Bukan soal takutnya. Tapi kalau regulasi mewajibkan ya baru dibilang ini penting. Jadi harus dipaksa dulu. Kesadaran nomor sekian. Takut dengan materi pertanyaanya? Saya kira tidak. Yang ditanyakan ya seputar pekerjaan yang sudah dilakukan. Paling perlu pendalaman lagi. Lebih sulit dibanding dengan ketika masih bersekolah dimana pertanyaannya tentang sesuatu yang belum pernah dilakukan. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk takut.


Yang kedua: keberatan masalah beaya. Harus diakui beaya sertifikasi dirasakan relatif  mahal bagi kantong pekerja. Harus dimengerti dan dipahami keperluan serta kebutuhan seorang pekerja sangat banyak apalagi untuk memenuhi kebutuhan serta keperluan keluarga, baik untuk kehidupan sehari-hari, keperluan yang berjangka, maupun yang bersifat mendadak atau tidak mendadak tapi memerlukan pengeluaran uang. Kebutuhan atau keperluan ini pasti lebih dipentingkan, apalagi bila menyangkut kalkulasi. Bagi para pekerja banyak mereka yang berpendapat beaya sertifikasi adalah beban perusahaan.

Yang ketiga: (Maaf), bahkan ada yang menganggap sertifikasi sebagai ajang bisnis, karena durasi masa berlakunya hanya tiga tahun. Memang ada pertanyaan logis: apakah setelah tiga tahun kompetensi seseorang pasti akan menurun atau hilang?

Yang keempat: ada pekerja yang memang sudah siap menghadapi sertifikasi ini. Baik  secara mental maupun secara finansial. Secara finansial memang terutama mereka yang bergaji relatif besar.

Anggapan bisa mempengaruhi keputusan. Keputusan bisa mempengaruhi hasil kerja. Anggapan dekat sekali dengan cara berpikir. Jaraknya tipis sekali. Anggapan yang salah, atau kurang benar, atau nyaris benar, apalagi dengan yang jelas benar tentu beda. Anda pasti menyadari hal ini. Dan bila perlu hipotesa ini ditularkan ke crew kita di mana saja.
Mari tempatkan Sertifikasi secara proposional. Hubungannya dengan karir boleh dibilang tidak ada. Meskipun sebenarnya ada. Vital malah. Utamanya ketika dalam situasi mencari pekerjaan. Jadi sebagai pengakuan kompeten. Sebagai aset. Sebagai bahan referensi. Jangan sampai anda kalah bersaing gara-gara pesaing punya sertifikat, sedang anda belum punya.

Tanpa Sertifikat apakah tidak diakui Kompetensinya? Diakui. Tapi soal hitam diatas putihnya, ada masalah. Lagipula dengan sudah punya sertifikat SKKNI yang anda punyai kompetensi anda akan tercatat oleh negara. Retorikanya begini: tanpa menunjukkan KTP orang sudah bisa tahu anda itu pria atau wanita, beragama apa, alamatnya dinama, dan sebagainya. Ketika anda tidak ber KTP anda tidak tercatat oleh negara. Soal tidak buru-buru mempunyai, boleh saja. Kita hanya berpikiran, jika memang ada kesempatan dan ada teman yang juga mempunyai keperluan yang sama, mengapa tidak diurus? Dalam menghadapi bersertifikasi, bayangkan kalau anda maju sendirian, bisa diduga, pasti tambah merinding dulu.

Apalagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sudah menandaskan di tahun 2020 adalah merupakan tahun terakhir Ujian Nasional diadakan dan di tahun 2021 akan diganti menjadi assessment (penilaian) kompetensi minimum dan survei karakter. Jadi punya sertifikat di bidang yang kita jalani punya arti yang sangat penting sekali.

Di Jepang budaya mental untuk maju dimulai sejak kecil. Anak yang akan sekolah kelas nol disyaratkan harus bisa memakai sepatu sendiri, kalau belum bisa dilarang mendaftar. Di sini anak kelas tiga saja masih sering dibantu, bahkan masih disuapi. Hasilnya tentu ya memang lain dengan Jepang. 

Intinya: Dari pekerja mengeluhkan sertifikasi berbeaya relatif mahal, masa kedaluarsa sertifkat yang hanya tiga tiga tahun, dan kalau akan diperpanjang harus ujian lagi serta berbeaya lagi (relatif mahal lagi).

Guno feed
Dari pengusaha merasa keberatan karena sertifikat ketika sudah jadi dengan atas nama pribadi pekerja bukan atas nama perusahaan. Jadi bila perusahaan ajai mencari calon pekerja untuk sopir, masak Surat Ijin Mengemudinya yang nenbiayi pengusahanya? Kan tidak? Apalagi kalau harus membiayai sertifikasi sekian orang.
Padahal sertifikasi sangat penting karena dari sisi Teknis Kompetensi, yang namanya Kompetensi yang memuat Knowledge, Skill dan Attitude itu kan selalu dinamis berkembang. Sehingga pekerja dipastikan dalam kondisi siap menghadapi pekerjaan dan ketika terjadi perubahan yang ada. Tugas devisi HR untuk mengawal serta mengantar masalah ini hingga ke sasaran yang diharapkan. Begitu juga pengusaha diharapkan menggunakan para pekerja yang sudah teruji kompetensinya.

Bisa saja nanti sebagai solusinya dalam mengumumkan lowongan kerja, pengusaha (perusahaan) menulis begini: LOWONGAN PEKERJAAN: DI BUTUHKAN BLA BLA BLA.. YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT DIHARAP TIDAK USAH MELAMAR..
Itu artinya akhirnya:
Pekerja terpaksa mengeluarkan beaya sertifikasi.
Perusahaan tidak perlu mengeluarkan beaya.
Dinas ketenagakerjaan tidak perlu terus-terusan menghimbau.




*****
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap hari Minggu ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.  

Guno Artikel

Posting Komentar untuk "Sertifikasi dan permasalahannya."