Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BERPIKIR POSITIF, KONTEKSNYA SEPERTI APA DULU?

Anda mungkin setuju dengan pendapat ini: Ketika kita berpikir positif kepada orang lain, maka aura kita juga akan menjadi positif. Benarkah?


Saya tidak akan menyalahkan pendapat ini. Hanya menurut saya pendapat ini tidak tepat, sebab berpikir positif itu sangat tergantung konteksnya seperti apa? Ada efeknya. Bila konteksnya salah maka itu akan berkonotasi mengejek atau malah mungkin menghina orang. Contoh: "Saya percaya seribu persen bila Mukidi (Maaf, ini hanya sekedar contoh) mencalonkan diri menjadi Presiden pasti akan menang." Pendapat seperti ini tentu akan mendatangkan rasa tidak nyaman pada Mukidi. Dia akan merasa tersinggung atau bahkan mungkin marah. Dia merasa diejek. Walau yang mengatakan begitu adalah teman dekatnya yang sangat mengerti kapasitas dan kepribadiannya.


Dari uraian di atas jelas kelihatan sekali bahwa sebuah pendapat positif meskipun itu logis yang notabene masuk akal ternyata tidak menjamin pendapat positif itu dapat menyenangkan orang lain bahkan akan menabrak hipotesa yang ada. Akan menafikkan segala rumus. Sebaliknya, sesuatu yang masuk akal secara fakta akan menjadi pertimbangan utama dalam penyampaian pendapat positif. Dengan kata lain berpikir positif anda dapat tidak jalan alias sia-sia.


Guno Display

Misal yang lain: anda setuju dengan pendapat positif yang dilontarkan oleh teman anda dalam sebuah rapat tentang marketing di perusahaan, bahwa bila dilakukan beberapa terobosan seperti yang diusulkan oleh teman anda pasti akan mendongkrak penjualan produk perusahaan. Tapi berhubung top manajemen tidak setuju karena berpendapat beberapa terobosan yang diusulkan itu akan memakai dana yang tidak sedikit, dengan demikian maka pendapat teman anda tadi menjadi mentah. Dalam kasus ini terlihat sekali bahwa tingkat golongan sangat mempengaruhi hasil keputusan yang akan dijalankan. Ini juga, dengan kata lain berpikir positif anda tidak jalan alias sia-sia.  


Dari pemaparan di atas terkandung pesan bahwa dalam kehidupan dengan segala pernik-pernik yang ada, yang namanya berpendapat berpikir positif bahkan sebuah pendapat yang logis, masuk akal, kalau tidak didukung oleh beberapa fakta nyata akan menjadi mentah setidaknya akan mengundang pertanyaan.


Berpikir positif tentu ditujukan atau didasari untuk berbaik sangka atau bermaksud baik. Contoh sederhana dan konkrit, dan sering kita dengar, ada pendapat pikiran positif begini: "Semua agama itu baik". Tentu sajai itu sebuah pendapat pikiran positif yang baik. Tapi pendapat pikiran positif ini pasti diikuti oleh sebuah pertanyaan: "Baik dalam konteks yang bagaimana?"


Dalam Agama Islam hal itu sudah dijawab di Ayat 6 Surat Al Kafirun yang berbunyi "lakum dinukum waliyadin" yang artinya "bagimu agamamu dan bagiku agamaku." Dan semoga semua orang, apapun agamanya, setuju dengan ini.


Have a nice day.


                         

Guno feed


Notes: Tulisan lainnya dapat dilihat di: 

solusi-guno.blogspot.com (Perpustakaan abadi).

guno-idea.blogspot.com Perpustakaan abadi in English).

Diusahakan setiap hari ada tulisan baru. Terima kasih.



Guno Artikel

Posting Komentar untuk "BERPIKIR POSITIF, KONTEKSNYA SEPERTI APA DULU?"