Quo vadis UMK siapa peduli?
Di setiap peringatan May Day (1 Mei) selalu tidak ketinggalan masalah UMK menjadi topik tuntutan para Serikat Pekerja (SP).
UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) yang merupakan bagian dari UMP (Upah Minimum Propinsi) sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah merupakan jaring pengaman upah bagi para pekerja setiap bulan. Itupun bagi seorang pekerja bersyarat lajang dan bermasa kerja setahun kebawah. Dengan demikian yang sudah berkeluarga atau bermasa kerja lebih dari satu tahun ya mestinya mempunyai upah di atas UMK. Namun dalam prakteknya walahualam.
Bisa dipahami bila dari pihak pekerja mempunyai keinginan agar besaran UMK tinggi selevel pekerjaannya, mengingat beaya kebutuhan hidup juga relatif tinggi. Oleh karena itu ada yang disebut KHL atau Kebutuhan Hidup Layak. Pada umumnya UMK diterapkan untuk pekerja maksimal setingkat SLTA. Namun dalam prakteknya kembali walahualam.
Pengusaha, dalam hal ini perusahaan, tentu saja berkeinginan besaran UMK tidak terlalu tinggi, tapi wajar. Apalagi perusahaan yang bersifat padat karya yang mempunyai ribuan karyawan. Bagaimanapun kalkulasi berusaha harus mendatangkan keuntungan atau profit. Itu wajar saja. Yang tidak wajar bila itu berorientasi mengurangi hak-hak pekerja. Sehingga bisa dikatakan merugikan.
Bagaimanapun besaran gaji walau itu UMK berefek domino kepada pembayaran BPJS baik yang Ketenagakerjaan maupun Kesehatan, besaran THR, pesangon, dan penghargaan masa kerja. Juga penghitungan pajak pribadi.
Jika UMK dirasa terlalu tinggi perusahaan akan beralih dari kota besar ke daerah bahkan ke luar negeri. Ini tentu merugikan pendapatan negara baik di sektor penerimaan pajak maupun masalah di jumlah pengangguran terutama yang di usia produktif.
Oleh karena itu dulu dalam menentukan UMK selalu diadakan perundingan antara pihak konfederasi serikat pekerja dan pengusaha yang diwakili APINDO. Pada perkembangannya pada tahun 2015 muncullah PP 78 yang mengatur tentang UMK tahun depannya dengan rumus :
UMn = UMt + {UMt x (Inflasi t + % Δ PDB t)}
UMn: Upah minimum yang akan ditetapkan.
UMt: Upah minimum tahun berjalan.
Inflasi t: Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan.
Δ PDB t: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan.
Hal ini ditentang habis-habisan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) karena tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak pekerja dan bersifat baku, tidak bisa diutik-utik. Pada kenyataannya kebutuhan hidup di tiap kota memang berbeda-beda. Serikat Pekerja menghendaki agar penarapan seperti sebagaimana yang sudah termaktub dalam pasal 88 undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.
Pada perkembangannya, karena pemilihan umum harus berdasarkan secara langsung dengan suara terbanyak dari masyarakat yang notabene melibatkan para pekerja maka oleh para pekerja dimanfaatkan agar UMK diusahakan bisa kembali ke sistem penghitungan KHL dengan lewat cara perundingan bipartit yaitu antara pengusaha dan serikat pekerja. Oleh serikat pekerja terakhir dari KHL dari jumlah 60 item berubah menjadi 84 item.
Pada hakekatnya kita ingin upah yang sejahtera yang memang sangat layak untuk memenuhi kehidupan seorang pekerja. Tapi memang juga harus disadari kekuatan keuangan perusahaan berbeda-beda meskipun hal itu tidak bisa dipakai untuk argumentasi dalam hubungan industrialisasi. Bagaimanapun perusahaan harus siap memberikan UMK yang berlaku meski penangguhan juga diperkenankan walau ada persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain dibuktikan oleh pembukuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan waktunya sangat terbatas tidak bisa terus-terusan.
Ketika UMK naik, pekerja yang lain yang sudah bekerja lebih dari setahun tentu juga naik. Nah untuk yang ini baru memakai sistem skala upah. Tapi ya tidak seperti dalam PP 78 tahun 2015 karena saat itu belum berlaku. Setelah berlaku sistem skala upah baru ada persamaan pola penghitungan meski tetap saja di sesuaikan dengan kemampuan di tiap-tiap perusahaan.
Kita sebagai pekerja sebenarnya juga senang jika UMK naik, tapi kalau angkanya terlalu tinggi ya bisa bikin hati deg-degan juga, perusahaan bisa survive apa tidak?
Di perusahaan Semarang dalam hitungan dua-tiga tahun besaran UMK bisa saja menembus angka lebih dari 3 juta rupiah sebulan. Sebuah angka yang sensitif dan berdampak psikologis di dunia usaha Semarang.
Tuntutan buruh upah yang tinggi, tuntutan pengusaha hasil kerja yang tinggi dengan upah yang wajar, bisakah ini ketemu? Dari dulu pertanyaannya juga begitu. Pakai koofisien apapun, variabel apapun yang digunakan mentoknya ya ke situ itu. Padahal perputaran dunia usaha selalu dinamis, bisa naik, stagnan, bahkan turun. Sedang upah jelas orientasinya naik dari tahun ke tahun. Ketika yang satu naik yang satu turun ya jelas njomplang. Wong stagnan saja njomplang alias mawut. Bagi perusahaan cara satu-satunya adalah menggenjot produksi dengan jumlah pekerja yang ada. Kalau pekerja dikurangi jelas akan menambah permasalahan di angka jumlah pengangguran. Misal begini, bila dulu di garmen seorang pekerja bagian pemotongan pola dalam sehari bisa 10 baju maka dengan naiknya UMK diusahakan bisa memotong 12 baju. Itu keuntungan dari segi keuangan. Di sisi lain dari segi kesehatan pekerja juga harus diperhatikan. Bagaimanapun pekerja tidak boleh terlalu kecapekan.
Pertanyaan sederhana yang muncul adalah apakah dengan naiknya UMK juga diimbangi dengan naiknya kualitas pekerja?
Beberapa waktu yang lalu, menurut kajian lembaga penelitian SMERU, elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum adalah -0,112 (negative). Artinya, setiap kenaikan 10 persen upah minimum riil akan mengurangi kesempatan kerja kasar (blue collar) di sektor formal lebih dari 1 persen. Sebaliknya, elastisitas pekerja kerah putih (white collar) adalah 1,0 persen, yang berarti setiap kenaikan upah minimum 10 persen akan menambah kesempatan kerja kerah putih 10 persen.
UMK semakin naik bisa menunjukkan pendapatan per kapita penduduk juga naik. Dengan kata lain daya beli masyarakat juga naik. Sialnya biasanya itu juga diikuti harga barang-barang yang juga naik. Bahkan kadang lebih duluan naik. Belum standar US dolar juga naik. Tapi yang ini sangat dipengaruhi resistensi perekonomian global.
Bagaimanapun masyarakat pekerja sangat ingin gajinya naik. Bahwa dengan cara bagaimana entah dimanfaatkan oleh politikus atau tidak, asal legal tidak masalah. Para pemimpin yang berwenang diharap bijaksana dalam hal ini. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama dan pertama dalam berbangsa dan bernegara.
*****
NB: Jadilah Follower blog ini dan berilah komentar. Silahkan sebar alamat sittus ini. Selama ada ide insyaallah ada tulisan baru. Terima kasih mengunjungi Perpustakaan kami.
Posting Komentar untuk "Quo vadis UMK siapa peduli?"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.