Pemikiran kita eksistensi kita
Siapa yang tidak kenal Cak Nun alias Emha Ainun Najib, Budayawan dari Yogyakarta? Berkutat di ranah seni dan berdakwah adalah perjuangan beliau dari masa muda. Asli Jombang dan tumbuh dewasa di kota Yogya. Pernah berkelana di jalan Malioboro dan kini punya media dakwah ditemani Kyai Kanjeng. Berdakwah dan bermusik. Seperti Sunan Kalijogo dulu berdakwah dikolaborasikan dengan seni wayang kulit.
Bagi Cak Nun, tumpuannya memang jelas iman. Tapi retorikanya menggelitik, kalau tidak mau disebut liar. Tegas tapi masuk akal. Membumi. Ini yang disukai banyak orang.Termasuk saya yang sejak muda mengagumi beliau melalui tulisan.
Pendapat Cak Nun tidak harus spetakuler, sederhana tapi mengena dan yang ada benarnya. Misal begini: Sandal ternyata lebih mulia daripada kupluk atau peci. Buktinya kalau kita mau sholat di masjid, wudhu dari rumah pakai sandal walaupun tidak pakai peci, sampai di masjid tidak perlu berwudhu lagi. Sedang kalau pakai peci tapi tidak bersandal, sesampainya di masjid ya harus berwudhu lagi walau sudah berwudhu dari rumah. Padahal peci tempatnya di atas, di kepala. Sedang sandal ada di bawah, di kaki. Ini kalau dijabarkan maknanya bisa luas sekali. Jangan pernah memandang tempat atau jabatannya, tapi kesejatiannya.
Yang lainnya, dalam menjalani hidup dan kehidupan yang paling penting adalah cara berpikir. Itu yang harus didahulukan. Baru pilih kitab suci dan nabi yang akan diikuti, dan seterusnya baru aturan ibadah dan yang lain lain-lainnya itu. Meyakini agama yang baik, harus berani dipertanyakan. Di logikakan, baru diyakini. Tidak asal mengikuti. Bertanya kepada Tuhan bisa lewat kitab suci dengan cara diresapi, dipahami, dipertanyakan. Jadi tidak hanya bertanya kepada manusia. Bukan asal manut saja. Orang tuanya agamanya ini harus beragama ini, itu juga harus dipikir dulu, dirasa dulu. Sekali lagi harus berani bertanya dan mengkaji. Seperti yang kita tahu para Nabi pun sering bertanya walau itu kepada Tuhan. Kurang beriman? Tidak. Kan dalam rangka mencari kebenaran. Jadi tambah mantab.
Ketika ada orang yang bertanya bahwa menurut Islam musik itu haram, (Cak Nun yang punya pasukan musik Kiai Kanjeng yang selalu menemaninya saat berdakwah) menjawab secara logis. “Gini lho mas (sambil membawa alat pemukul gamelan) kalau ini dipukulkan gamelan (sambil mukul gamelan) itu halal. Lha kalau ini dipukulkan ke kepala orang, itu baru haram.” Di jaman Nabi memang tidak pakai musik begitu. Lha kan memang belum ada? Banyak yang di jaman nabi yang tidak ada, tapi sekarang kita memakainya. HP androit misalnya. Padahal tak hanya dari segi kemanfaatan yang berguna, banyak hal hal yang negatif di dalamnya termasuk hoax, timbulnya fantasi konyol, suka pamer, suka ngerumpi, dan sebagainya toh kita tetap memakainya. Sunatuloh terus berjalan, berkembang sesuai jaman. Tapi keimanan memang harus tetap konsisten. Persuasif tapi yang dalam hal positif.
Tentu saja pemikiran Cak Nun mungkin ada yang tidak 100% bisa anda terima. Ada beberapa yang tidak cocok di hati. Tidak masalah. Bagi Cak Nun sendiri, berbeda pendapat itu biasa. Malah merupakan suatu rahmat. Jangankan hanya pendapat, berbeda keyakinan dalam beragama ya silahkan saja. Yang penting adalah adanya pemikiran yang benar dalam hidup dan kehidupan. Dimana pun itu. Dalam kerier dan rumah tangga. Demikian juga di komunitas anda yang mungkin banyak orang pintar dan cerdas. Betapa hebatnya kalau ada ruang untuk penajaman pemikiran. Berdiskusi. Bukan sekedar yang penting logis atau hanya sekedar menuruti teori. Dan itu tergantung dari kemauan bukan? Entah itu bergerak, diam, acuh, bahkan tidak urusan. Masalahnya, kita biasanya biasa bekerja secara biasa. Jarang berinovasi. Apalagi kontoversi. Cari amannya. Padahal apa yang kita lakukan dihat dan dinilai Tuhan, bahkan oleh manusia. Tentu konsekwensi, syarat dan ketentuan tetap berlaku. Betapapun belajar kepada Cak Nun mengasyikkan dan ada terbuka wacana-wacana baru. Betapapun, dalam berdikusi misalnya, lawan debat adalah teman dalam diskusi.
Tentu saja pemikiran Cak Nun mungkin ada yang tidak 100% bisa anda terima. Ada beberapa yang tidak cocok di hati. Tidak masalah. Bagi Cak Nun sendiri, berbeda pendapat itu biasa. Malah merupakan suatu rahmat. Jangankan hanya pendapat, berbeda keyakinan dalam beragama ya silahkan saja. Yang penting adalah adanya pemikiran yang benar dalam hidup dan kehidupan. Dimana pun itu. Dalam kerier dan rumah tangga. Demikian juga di komunitas anda yang mungkin banyak orang pintar dan cerdas. Betapa hebatnya kalau ada ruang untuk penajaman pemikiran. Berdiskusi. Bukan sekedar yang penting logis atau hanya sekedar menuruti teori. Dan itu tergantung dari kemauan bukan? Entah itu bergerak, diam, acuh, bahkan tidak urusan. Masalahnya, kita biasanya biasa bekerja secara biasa. Jarang berinovasi. Apalagi kontoversi. Cari amannya. Padahal apa yang kita lakukan dihat dan dinilai Tuhan, bahkan oleh manusia. Tentu konsekwensi, syarat dan ketentuan tetap berlaku. Betapapun belajar kepada Cak Nun mengasyikkan dan ada terbuka wacana-wacana baru. Betapapun, dalam berdikusi misalnya, lawan debat adalah teman dalam diskusi.
Pemikiran kelak dibawa mati. Dialah pembeda rasa enak dan sakit, benar dan salah. Yang membedakan mana surga mana neraka. Oleh karena itu munculah pahala dalam artian yang positip dan negatip, yang membawa ke surga atau membawa ke neraka. Kita adalah produk pikiran dan tindakan kita.
Kita selalu memikirkan apa yang ada di depan mata. Itu tidak salah. Karena masalah yang ada di depan mata perlu segera ditangani. Tapi dalam menjawab permasalahan tentu perlu pilihan dan berpikir. Berstrategi. Itupun kita dibatasi keterbatasan. Ketika saya membaca buku Be myrpikir dan Berjiwa Besar karya Prof. David J Schwartz di mana dalam buku dikatakan bahwa segala problema bisa terjawab, saya berpendapat bahwa bagaimanapun ada saja keterbatasan yang mengelilingi kita. Ada saja kendala menghalangi kita. Tapi mari kita jadikan partner. Tidak perlu dihindari tapi dihadapi. Sekali lagi distrategi.
Semua orang tentu ingin pulang kampung dengan aman dan nyaman. Dimana kampung asal kita? Surga. Bukankah Nabi Adam dan ibu Hawa berasal dari sana? Bahwa kendaraan kita ngadat karena kehabisan BBM, oli, businya rusak atau salah arah jalan adalah murni kesalahan kita. Begitu juga bila memakai kendaraan lain, naik kuda, atau jalan kaki sehingga kita tersesat atau terkendala adalah kesalahan kita. Tapi jangan kuatir itu bisa diperbaiki. Taubat dan tidak diulangi lagi. Tuhan telah membekali kita dengan peta untuk pulang menuju Surga. Peta itu disebut: Kitab Suci.
Maaf, bila saya menulis yang aneh-aneh. Biar otak dan hati terus berjalan sehingga ada wacana, serta ada bukti bahwa kita masih waras.
Cak Nun berpesan: "Sebisa mungkin teruslah memberi, syukur berbentuk harta setidaknya rasa sayang dan kemanfaatan yang baik. Tuhan akan memberikan jalannya."
Cak Nun berpesan: "Sebisa mungkin teruslah memberi, syukur berbentuk harta setidaknya rasa sayang dan kemanfaatan yang baik. Tuhan akan memberikan jalannya."
*****
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap hari Minggu ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap hari Minggu ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.
Posting Komentar untuk "Pemikiran kita eksistensi kita"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.