Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendidik anak yang benar

 Jauhkan anakmu dari kemudahan tentu tidak bermaksud “mari mempersulit anak kita”. Maksudnya adalah, anak kita jangan terlalu dimanja. Jadi misal anak kita sudah mampu mengangkat beban 1 kg, ya kita usahakan melatih anak kita meningkat bisa mengangkat beban lebih dari 1 kg misal menjadi 1,2 atau1,5 kg bahkan 2 kg, karena anak seusia dia malah sudah ada yang bisa mengangkat beban 4 kg. Tapi kebanyakan dari kita secara umum malah bersikap menegedepankan rasa kasihan kepada anak dalam hal ini jika anak disuruh mengangkat beban yang dirasa berat. Kalau perlu kitalah yang mengangkat bebannya.



Jika anak kita akan mendaftar sekolah SMA, atau Universitas, okey mari kita antar dia ke lokasi sekolah atau Universitas yang dituju, tapi biarkan dia berlari-lari sendiri mencari loket pendaftaran, mengisi formulir, dan menanyakan ini itu ke panitia pendaftaran. Kita cukup standby di belakangnya saja. Saya selalu merasa sedih jika ada pelamar kerja di kantor saya datang dengan didampingi oleh ayah atau ibunya. Apalagi bila dia seorang sarjana. Bahkan pernah saya bermaksud mengajukan pertanyaan ke pelamar yang sarjana tadi tapi yang selalu menjawab malah orang tuanya. Lha ini yang mau bekerja anaknya atau orang tuanya?

Guno Display
Banyak dari kita pontang-panting berusaha memberikan yang terbaik bagi anak tanpa melibatkan anak. Ini naluri yang wajar sebagai orangtua. Kita selalu ingin memberikan “yang lebih” dan terbaik dari yang dibutuhkan anak. Yang parah, kita malah mengabaikan potensi anak. Dengan kata lain, kita justru “meracuni” anak kita sendiri. Mengasihani, yang sejatinya adalah kita meracuni. Misal anak butuhnya minta kendaraan roda dua, malah dibelikan mobil. Atau kita mengarahkan anak bersekolah di sekolah atau di Universitas yang terkenal atau di bidang studi yang prestisius, dengan berbagai upaya, yang entah bagaimana caranya, kalau perlu pakai uang suap atau cara lain untuk memuluskan jalan, dengan maksud biar anak kita besok masa depannya bagus. Nyari duitnya gampang. Padahal orangtua telah mempertontonkan kelaukuan busuknya dengan menggunakan uang suap atau kekuasaan jabatannya. Akhirnya si anak meniru apa yang dilakukan orangtuanya yaitu yang penting hasilnya, masa bodoh prosesnya. Padahal mengapa begitu? Ya mungkin orang tuanya dulu ceritanya juga begitu.

Bukan idealnya lagi, tapi realitanya, seharusnya kita membiarkan anak menggunakan dan memberdayakan potensinya, wacananya, talentanya, dan kekuatnya sendiri. Ini penting. Di Jepang, yang kita kenal sebagai sebuah negara yang maju di bidang tehnologi dan ekonominya, ternyata sejak menjadi murid SD, anak-anak diajari menjaga kebersihan dengan cara manual. Tidak memakai peralatan moderen tapi langsung dengan tangan. Apakah guru-guru mereka bermaksud menyiksa para siswanya? Tentu saja tidak. Para guru hanya ingin “mengeksplorasi kemampuan” anak (siswa) yang dia punya. Memberdayakan potensi siswa. Menjadi anak yang "tahan banting". Bukan malah membatasinya dengan argumen “kasihan”. Di Jepang sana ada aturan: Seorang anak yang akan mendaftar di Sekolah Taman kanakkanak bila ternyata si anak yang bersangkautan belum bisa memakai sepatu sendiri, tidak boleh mendaftar.

Ini lain lagi. Ada cerita seorang remaja yang ingin belajar kungfu di biara shaolin. Karena rumahnya sangat jauh dia datang mendapati pintu biara sudah ditutup karena waktu pendaftaran memang sudah ditutup. Dia rela duduk bersila tiga hari tiga malam didepan pintu biara memohon belas kasihan agar dapat diterima sebagai murid. di hari keempat, akhirnya oleh kepala biara memang diperbolehkan masuk namun tidak langsung diajari jurusjurus. Tugas pertamanya malah mengisi kolam mandi yang berukuran besar dan mengambil airnya secara dipikul ke sungai yang letaknya relatif jauh dengan kondisi jalan yang naik turun dan licin bila sehabis hujan. Para suhu beladiri itu tidak bermaksud menyiksa, tapi sebelum berlatih jurusjurus, mereka harus tahu dulu dan memastikan bagaimana cara si calon siswa ini mempunyai tekad, cara mengatur nafas, menguatkan paha, kaki, tangan, dan pundak mereka. Dan mereka membiarakan si calon murid baru itu mencari “formulanya” sendiri. Anak kitapun sebenarnya mempunyai potensi yang luar biasa. Punya talenta untuk menyiasati suatu permasalahan yang ditemui. Kalau anak lain yang seusia anak kita mampu melakukan sesuatu yang “luar biasa” maka seharusnya anak kita juga bisa. Kalau bisa malah melebihi itu. Maka dari itu sudah seharusnya kita “melatih” anakanak kita.  

Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, “Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah “ memberi tantangan”. Ya, tantangan. Apakah itu kesulitankesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, pendeknya yang membuat jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepatcepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anakanaknya. Bila perlu secara instan. Kesulitan belajar misalnya, mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan bila berusaha menyuap aparat sekolah. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anakanaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka sendiri.Ini misal saja. Kesalahan anakanak kita sering membuat kita salah dalam mengambil langkah. 
Masalah anakanak kita mengundang para orangtua untuk turun tangan. Padahal masalah anakanak kita sesungguhnya bukanlah “milik” kita. Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anakanaknya mengalami kemudahan dalam proses belajar atau mendapat prestasi tertentu. Padahal saat ini disinyalir banyak ilmuwan yang pintar, kreaktif, tetapi cepat tersinggung. Ini karena sudah "terpola" oleh kebiasaan masa lalu. Mereka tidak pernah “dibanting” oleh “masalah kehidupan” yang tidak enak. Yang tidak pernah mengenal tenggangrasa. Orangtua dalam mendidik anak biasanya bersandar pada pengalaman pribadinya dulu. Misalnya mereka mereka punya dua opsi: karena saya (si orangtua) dulu anak dari orang yang tidak kaya maka sekarang anak saya akan saya manja, atau sebaliknya saya suruh prihatin seperti saya dulu.

Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?” Jadi, sedari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, kehidupan yang sejatinya keras. Bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, tapi bukan membuatnya menjadi tidak waspada dan segalanya selalu menjadi mudah. Sekali lagi: membuat si anak menjadi "tahan banting".

Jadi tugas kita adalah mendampingi agar mereka menjadi dirinya sendiri dengan melibatkan mereka dalam segala proses yang ada. Bukan selalu mengintervensinya, apalagi mengambil alih perannya. Biarkan anak-anak kita menjadi tangguh, kuat, sabar, cerdas, dan selalu semangat dalam menjalani kehidupannya. Mengenali segala potensi yang ada dalam dirinya. Di sebuah iklan roti pernah digambarkan seorang ibu lomba lari melawan anaknya yang baru berusia belasan tahun. Si ibu berpikir cerdas: bila dalam adu lari tersebut dia menang itu memang sudah seharusnya, tapi bila dia kalah sesungguhnya dialah yang menang (dalam mendidik anak).

Guno feed
Tanggal 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Mari kita gemakan peristiwa ini sebagai “moment” bagi komitmen kita untuk menjadikan anak-anak kita sebagai insan unggulan, sebagai anak yang menjadi dirinya sendiri.



 *****
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap sepekan ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.    
Guno Artikel

Posting Komentar untuk "Mendidik anak yang benar"