Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati

 Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Lagu karangan Ismail Marjuki ini saat ini terasa sangat pas diungkapkan untuk menggambarkaan situasi yang ada di beberapa hari-hari di minggu yang lalu, ketika marak demo Mahasiswa. Saya tidak hendak akan berbicara tentang politik. Jika politik dibahas tidak akan pernah habis dikupas, sebab politik bukan sesuatu yang instan dan dapat di setujui oleh berbagai pihak. Jadi sifatnya relatif. Saya hanya ingin berempati pada apa yang terjadi, dan belajar serta memetik hikmah dari apa yang terjadi. Karena apa yang terjadi itulah yang kita rasakan.
Semua tentu setuju bahwa negara kita dapat merdeka tidak dengan jalan yang mudah. Ada perjuangan keras yang berliku dan adu fisik bahkan bertaruh nyawa. Berjuang habis-habisan. Tidak ada kepentingan lain kecuali ingin segera merdeka, terlepas dari cengkraman tangan penjajah. Bahwa setelah merdeka juga tidak mudah menata segala sesuatunya serta kita berusaha untuk tetap selalu bersatu dalam tekat, satu pemahaman, satu tujuan, satu tanah air. Perbedaan pendapat selalu muncul, dan itulah sesungguhnya yang bisa merupakan sumber permasalahan diantara kita.
Permasalah harus disikapi secara obyektif dan proposional sekaligus profesional. Itu saja tentu harus dilandasi sikap adil, arif, dan bijaksana juga obyektif, proposional, profesional. Permasalahan yang sederhana jangan dibuat berat, masalah yang berat jangan disepelekan. Permasalahan bisa datang satu-satu, bisa juga berbarengan. Padahal mengatasi permasalahan juga tidak gampang, apalagi secara gampang-gampangan. Permasalan cepat sekali menggurita.
Permasalahan seperti ini tentu saja tidak hanya terjadi di negara kita saja, tapi hampir di setiap negara di dunia. Banyak unsur yang ikut menentukan. Tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Mengurai masalah tentu tidaklah mudah. Perlu kasabaran, perlu ketelitian, serta itu tadi, perlu eksekusi yang adil, bijaksana dan tegas. Banyaknya unsur yang terlibat merupakan masalah tersendiri. Kata kuncinya: kita tidak hanya butuh filter tapi juga ketegasan. Dan satu hal lagi, negara-negara di dunia ikut mencermati kita, minilai kita. Kita harus hati-hati.
Melihat berlangsungnya demo mahasiswa tempo hari sangat menyayat hati. Ada rasa tegang, ngeri, bahkan ikut deg-degan. Mereka menyuarakan penolakan Revisi UU KPK yang dinilai bisa melemahkan lembaga anti rasuah ini. Sejauh ini apa yang telah dilaksanakan dan dihasilkan KPK dinilai bagus oleh masyarakat. Banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) seakan merupakan penyejuk dahaga yang selama ini dirasakan di tengah-tengah banyaknya permasalahan yang dianggap tidak memuaskan rakyat. Bagaimanapun koruptor dianggap pencuri uang rakyat dan perlu mendapat ganjaran yang setimpal. Mereka yang mencederai masyarakat harus dihukum. Maka ketika KPK merasa diremehkan atau dilemahkan, mereka merasa tidak terima, karena itu mereka berpendapat suara asprirasi perlu disuarakan dengan lebih keras. Mereka berpendapat hanya itu jalannya. Meskipun itu berarti turun ke jalan, dan siap menanggung resiko. Dalam bahasa mereka: Inilah perjuangan!.
Padahal Revisi UU KPK telah disetujui DPR. Yang mereka heran Revisi UU yang lain KUHP, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan juga mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat ditunda sampai adanya pelantikan anggota DPR baru.
Dilansir dari Kompas.com (Jakarta), ada 26 poin dari UU KPK hasil Revisi yang  melemahkan KPK :
1. Pelemahan Independensi KPK KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif.
 2. Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus.
3. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas.
4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
5. Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.
6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
7. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan.
8. Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun).
9. Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan.
10. Pemangkasan kewenangan Penyadapan Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap Penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi.
12. Terdapat Pasal yang beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
13. Ada resiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK.
14. Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus; Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi; Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
15. Berkurangnya kewenangan Penuntutan Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan.
16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN. 18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11).
24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara.
25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan.
26. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi.

(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Ini 26 Poin dari UU KPK Hasil Revisi yang Berisiko Melemahkan KPK”, https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all).
Dari Jakarta, CNBC Indonesia diberitakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya membuka peluang untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti perundang-undangan (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang sudah diketok DPR-RI.

Pernyataan yang dikeluarkan Presiden Jokowi terkait hal tersebut mengemuka pasca menerima berbagai masukan dari sejumlah tokoh bangsa yang terdiri dari cendekiawan, ahli hukum, sastrawan, kalangan pengusaha, hingga pelaku seni Tanah Air kemarin, Jumat (27/9/2019).
Guno Display

“Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disiarkan oleh DPR, banyak sekali masukan itu berupa Perppu,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta.
“Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi, dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore ini,” jelasnya.
Atas pertimbangan tersebut ada beberapa syarat jika seorang Presiden mengeluarkan Perppu. Detikcom menulis, yang utama adalah kegentingan yang memaksa. Apa itu kegentingan yang memaksa?

Kewenangan Presiden membuat Perppu lahir dari Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Namun apa yang dimaksud ‘kegentingan yang memaksa’? Tidak dijelaskan dalam UUD1945. Dalam catatan detikcom, Senin (30/9/2019), Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan tafsir ‘kegentingan yang memaksa’. Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Menurut putusan MK itu, kondisi kegentingan yang memaksa adalah:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945,” ujar majelis yang diketuai Mahfud Md.
Guno feed

Menurut MK, pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.

“Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang- Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perppu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara,” pungkas MK.

Pertanyaannya, apakah Presiden Jokowi berani?
Perlu kedewasaan dalam menyikapi tentang apa yang terjadi. Tidak bisa hanya menuruti perasaan kesana kemari. Ada komitmen ada konsistensi. Ada yang perlu disepakati bersama. Menjunjung tinggi konstitusi misalnya. Tidak perlu ada komentar yang malah akan membingungkan masyarakat. Harus bisa saling menahan diri. Bukankah semua ini untuk masyarakat?
Tidak perlu ada yang jatuh korban atau dikorbankan. Masyarakat sudah cerdas. Jangan di ping-pong. Masyarakat juga harus bisa menahan diri. Mari kita junjung konstitusi. Kita kedepankan aturan. Saya yakin semua bisa berpikir secara dewasa dan matang. Suasana chaos mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Taruhannya sangat mahal. Juga perlu waktu untuk memperbaiki. Dan itu tidak mudah, juga perlu waktu. Sementara negara-negara lain sudah bergerak maju, kita mungkin malah jalan di tempat atau bahkan mundur. Semua pihak diharapkan tidak memakai aji mumpung.
Jika ada yang kurang mari kita isi kekurangan itu bersama-sama. Saling melengkapi. Sudah berat beban ibu pertiwi. Harus kita bantu meringankan beban yang ada. Perbedaan yang didasari kepentingan, mari kita ubah menjadi kepentingan bersama. Tidak usah demi harga diri atau demi kelompok. Tuhan menciptakan kita berbeda-beda agar kita bisa saling bekerjasama, bukan agar untuk balapan lebih unggul dari yang lain.
Ingat Ibu Pertiwi tugasnya masih sangat panjang, yaitu menjaga dan mengasuh anak cucu kita entah samapai kapan. Kita jangan egois. Jangan memaksakan kehendak. Segala permasalahan mari kita tuntaskan dengan baik dan secara cerdas. Jangan sampai permasalahan malah menimbulkan masalah-masalah baru. Sudah terlalu banyak PR yang harus kita kerjakan. Untuk menjawabnya sangat dibutuhkan partisipasi semua pihak. Jangan malah sampai saling mencurigai, apalagi menuduh. Menahan diri, berpikir cerdas, bertindak tepat adalah solusi yang dibutuhkan. Tak ada gading yang tidak retak. Tapi semua diusahakan menjadi lebih baik. Terakhir, semoga Tuhan meridhoi semua usaha baik kita. Amin.


*****
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan alamat situs ini. Selama ada ide insyaallah setiap hari minggu ada tulisan baru. Terima kasih telah mengunjungi perpustakaan kami.
Iklan
Guno Artikel

Posting Komentar untuk "Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati"