Kartu pekerja perlukah itu?
Suatu saat saya pernah berkenalan dengan seorang pria berpenampilan perlente, rapi, bersih. Dia memberikan kartu namanya dengan senyum yang bagaimana gitu. Dari kartu nama yang diberikan selain tertera nama yang bertitel S2, jabatan di kantor sebagai ketua bidang tertentu, ada pula jabatan ketua organisasi sosial tertentu, bidang olah raga tertentu, bidang agama tertentu, dan ada beberapa lagi. Orang itu tampak bangga, dan saya hanya menganggukangguk saja. Saya kagum? Tidak. Biasa biasa saja. Saya justru mikir: orang ini sudah menyumbangkan prestasi apa ya di organisasi organisasi yang mulia dan terhormat itu?
Semua pasti tahu, jabatan adalah sebuah amanah. Kalau hanya untuk dibanggabanggakan malah memalukan diri sendiri, menjatuhkan harga diri. Jadi bumerang. Dan itu gampang dicek kok. Kalau hasilnya nol pasti banyak orang yang sinis, ngelus dada dan tidak mau memberikan amanah lagi. Apalagi bila orang itu berprestasi nol besar dari sebuah jabatan. Orang jawa bilang: wong sing ngono kui bakale orak kuat ngangkat derajat. Lalu darimana dia dapat jabatan itu? Hanya dari persengkokolan, menebar uang dan asal bapak senang. Suka disanjung.
Kartu nama hanyalah selembar kertas yang relatif kecil yang dari kertas mahal, murah, atau dari kardus. Kartu nama ikut saja ketika ditaruh di mana. Di saku baju, celana, dompet, dasbor mobil, bahkan di keranjang sampah. Kartu nama sesungguhnya adalah barang berharga. Barang sakti. Pengejowantahan seseorang. Perwujudan eksistensi seseorang. Di situ terletak sebuah tanggung jawab, sebuah amanah, sebuah kepercayaan, wajah kopetensi dimiliki seseorang, bahkan perkiraan besaran gaji. Bisa untuk rekomendasi, bersombong ria, menjalankan kewenangan yang ada, menunjukkan eksistensi, bahkan bisa untuk menyimpan dan menyebunyikan ketakutan.
Jabatan bisa mendatangkan uang, itu benar. Kalau hanya untuk itu tujuannya, uangnya tidak berkah. Jabatannya diperoleh tapi doa tidak tulus dan makian dalam hati terus mengalir dari segala penjuru. Munafik magnetis bagi sekumpulan munafik lainnya. Memanipulasi kartu nama demi suatu kepentingan yang tidak semestinya adalah sebuah pengkhianatan yang kebangetan.
Bagi yang beriman dalam islam ketika diberi jabatan akan segera beristighfar sambil mengucap "Inalilahi wainailaihi rojiun" dan "lahaulawalaquatailabillah". Menyadari kemampuan diri dan berserah diri kepada yang Maha Kuasa. Orang yang begini, sangat percaya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di alam akhirat. Takut berbuat dzolim dan dusta kepada sesama dan yang di atas sana.
Barangkali bagi sebagian orang kartu nama dianggap biasa saja. Tidak perduli terbuat dari kertas mahal atau hanya dari potongan kardus. Seperti kata Sakhespeare, apa artinya sebuah nama. Seperti baju, bisa diganti dan dicopot. Saya punya beberapa teman yang tidak suka mencantumkan titelnya kecuali untuk keperluan akademisi. Bila dalam perkumpulan umum jangan harap dia mau menyebutkan titelnya. Buat apa, katanya. Dia berprinsip, jangan berbisik kepada orang yang tuli, jangan menari di depan orang yang buta. Bertindak tidak pada tempatnya, semua itu hanya kesiasiaan. Titel bukan untuk gagahgagahan. Terselip tanggungjawab dan integritas di situ. Tidak perlu pamer. Termasuk untuk pencitraan. Ibarat orang yang bersedekah dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu. Rendah hati sesungguhnya meninggikan derajat kita di hadapan Tuhan. Dan kepadaNyalah kita semua akan kembali. Kita sejatinya tidak punya apa apa. Bukan siapa siapa.
*****
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap Minggu ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.
Posting Komentar untuk "Kartu pekerja perlukah itu?"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.