Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LAMPU BANGJO dan filosofinya

Lampu Bangjo di persimpangan jalan raya adalah serangkaian benda mati yang bila di support tenaga listrik dengan kekuatan tertentu maka system mekanismenya akan berjalan dan menghasilkan nyala tiga buah lampu secara bergantian.

          
Dan karena atas nama hukum dia diberi kewenangan mengatur pola hidup manusia di jalan, maka diapun ditaati oleh segenap manusia. Ada pengecualian memang. Karena ada beberapa manusia dengan alasan tertentu boleh melanggar “perintah” lampu Bangjo ini. Jika alasan melanggar ini didukung oleh etika (mobil jenazah misalnya),  maka pelanggaran Bangjo ini masih bisa dimengerti, atau bahkan dimaafkan. Tapi jika alasan melanggar itu didukung oleh perangkat hukum (mobil pemadam kebakaran misalnya), maka tak ada alasan bagi pengguna jalan yang lain untuk melakukan protes.

Lampu Bangjo ketika dalam kondisi “on” dia mempunyai tugas dan pengaruh yang sangat luar biasa. Itu berkat adanya suatu kewenangan. Sehingga kerdipan ke tiga lampu itu menjadi kekuatan yang mengandung ketentuan hukum.  Dan anda jangan coba-coba untuk mengabaikannya.

Bayangkan jika sebuah kewenangan yang harus dipatuhi dan berpengaruh luar biasa seperti ini diberikan kepada seorang manusia. Efeknya bisa macam-macam. Jika manusia yang diberi amanah ini intergritasnya baik, maka dia dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Tak masalah misalnya, jika lampu merahnya menjadi menyala agak lama. Atau lampu kuningnya. Atau lampu hijaunya. Asal itu bersumber dari sebuah intergritas yang baik, kita dengan sukarela mengikuti, karena tindakan itu dapat kita artikan sebagai “tindakan yang bijaksana” karena demi kepentingan umum. Tapi kalau lamanya lampu tadi bersumber dari sebuah intergritas yang buruk, jangan tanya, itu pasti karena adanya kepentingan pribadi dari si pemegang kewenangan.

Sesungguhnya kita dapat bercermin dari lampu Bangjo ini. Kita akan tahu bagaimana karakter setiap orang yang sebenarnya. Karena nyala dari tiga macam warna lampu ini (merah, kuning, hijau), akan menimbulkan berbagai reaksi manusia dalam menyikapinya. Bukan lampunya yang menyebabkan demikian. Tapi kepentingan manusialah yang menyebabkan timbulnya rasa reaktif itu.

Lampu merah yang menyala misalnya. Ada manusia yang bersyukur karena itu berarti dia dapat beristirahat barang sejenak. Ada juga manusia yang berhenti karena dia tahu benar bahwa bila lampu merah menyala berarti memang harus berhenti. Ada juga manusia yang berhenti karena dia tidak punya pilihan lain, sebab hatinya sebenarnya ingin menerabas karena dia harus mengejar waktu, tapi berhubung dia tidak punya atau lupa membawa SIM atau STNK, dia takut kepada Poltas dan terpaksa harus berhenti. Atau ada yang mengomel, karena dia tahu persis bahwa di perempatan jalan ini lampu merahnya kalau menyala nyalanya lama sekali. Bahkan ada yang nekat untuk meneruskan perjalanan karena bagi dia menyalahi aturan adalah hal yang biasa, sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang lain. Jadi baginya tidak apa-apa. Dan jika sampai dia dikejar Polisi, anggap saja awak sedang apes, karena baginya sebuah konsekwensi boleh datang boleh tidak, yang penting kepentingannya bisa berjalan.

Padahal ini baru nyala satu lampu. Bentuk penyikapannya sudah lain-lain.

Penyikapan ini sifatnya bisa tidak konstan. Artinya hari ini yang tadi termasuk orang yang mentaati lampu merah, bisa saja besok tidak bersikap seperti itu. Bahkan sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Pun yang semula bersikap parah, tiba-tiba dapat menjadi baik. Bahkan dia dapat menasehati orang lain, bahwa melanggar lalulintas disamping tidak baik juga dapat membahayakan jiwa. Nah, sampai di sini anda tentu sudah punya penilaian: jadi antara yang konstan dan yang tidak konstan pasti mempunyai point yang berbeda.

Bagaimana jika lampu kuning yang menyala? Sama saja keadaannya. Banyak orang yang berinterprestasi kepadanya. Ada yang berhati-hati karena sebentar ada lampu lain yang menyala dimana itu akan mengakibatkan sebuah perintah yang harus dituruti. Merah harus berhenti, hijau harus segera berjalan kembali. Ironinya, lampu kuning sering mendapat kutukan. Karena bagi mereka yang terburu-buru, nyala lampu kuning berarti petaka. Jika kemudian lampu merah yang menyala, itu berarti harus berhenti dan menunggu. Menunggu satu setengah menit bisa serasa satu setengah tahun rasanya. Membayangkan wajah si Bos yang sedang murka, itu sudah merupakan alasan yang sah baginya untuk misuh-misuh di tengah keramaian orang dengan tanpa beban sama sekali.

Apalagi bagi mereka yang kendaraannya tidak dalam keadaan fit. Menstater kendaraan berulang kali tapi tak menyala juga, ditambah bunyi klakson di belakang yang berbunyi bersahut-sahutan, lantas ditimpai oleh omelan-omelan dan teriakan kasar, jelas nyala lampu kuning ini tidak membawa kenyamanan, tapi membawa kutukan. Kata apa yang keluar dari mulut orang yang tertekan semacam ini? Isi Kebun binatang!      

Nyala lampu hijau agaknya mendapat apresiasi yang lebih baik. Karena lampu ini identik dengan “kelegaan”.  Kecuali bagi mereka yang kendaraannya macet tadi. Pasti siksaan. Tapi mayoritas orang mensyukuri nyala lampu hijau ini. Dapat berjalan lagi setelah lama menunggu dalam penantian seakan merupakan jalan keluar dari “kebuntuan”. Bagaimana bagi mereka yang ternyata sesampainya di tempat tujuan toh akan mendapat dampratan dari sang majikan? Setidaknya nyala lampu hijau adalah menifestasi dari suatu rasa “kepasrahan”.

Reaksi yang paling hebat adalah jika lampu Bangjo mati sama sekali, atau semua lampu menyala bareng tak ada yang mati. Bayangkan!. Hampir semua orang pengguna jalan setuju untuk mengutuk dan memaki. Inilah saat yang tepat kita mengekspresikan sumpah serapah, dan caci maki. Jika selama ini kita bertahan pada kejengkelan yang tersumbat baik itu kepada Bos, kepada atasan, kepada istri atau kepada suami, inilah moment yang tepat untuk memuntahkannya. Bukankah emosi yang tertahan butuh penyaluran? Sungguh situasi yang tidak seimbang sebenarnya. Hanya soal ada satu kabel yang putus, atau korslet, itu sudah sanggup menggerakan emosi massa sedemikian hebatnya. Manusia yang katanya punya akal dan budi pekerti bisa langsung kehilangan kontrol ketika mentalnya ikut terkontrol oleh situasi hiruk pikuk jalanan akibat adanya satu kabel lampu Bangjo yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Toh bagi sebagaian orang ada yang merasa biasa-biasa saja dengan kejadian ini. Sebab dia malah bisa berjalan menerabas kesana-kemari. Atau sedikit santai karena keterlambatannya punya alasan yang akurat. Atau mereka memang sudah maklum. Inilah gambaran sesungguhnya jika proyek pemerintah di tangani secara setengah-setengah karena ada yang menangguk keuntungan. Hanya celakanya ini menyangkut ketertiban masyarakat. Suatu hal yang sangat penting dan vital. Bayangkan kalau semua lampu Bangjo tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Byar pet – byar pet. Di samping berbahaya bagi keselamatan banyak orang, lampu byar pet –byar pet seperti itu sepertinya “meledek” kepada kita. Lampu Bangjonya ada, tapi silahkan jalan sendiri-sendiri.

Lampu Bangjo sejatinya benda mati. Ketika dia difungsikan, sesungguhnya hanyalah lampu merah-kuning-hijau yang di-setting waktunya agar dapat menyala secara bergantian. Apapun cuacanya, apapun harinya, dia akan menyala seperti itu. Dan terus seperti itu. Tak peduli apa yang dikatakan dan dipikirkan orang. Tak peduli apakah manusia butuh dia atau tidak. Ini sama halnya dengan “sang waktu” yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sang waktu akan terus berjalan tanpa peduli dengan keadaan dan perasaan manusia. Sang waktu tidak butuh kita, tapi kitalah yang butuh waktu. Jadi ada yang mengapresiasikannya dengan baik. Tapi banyak pula yang tak acuh, karena ia (sang waktu ataupun lampu Bangjo) baginya hanyalah sebuah rutinitas biasa.

Bahkan sekarang ada yang agak aneh. Saat ini di tiap perempatan jalan besar yang sudah jelas ada lampu Bangjonya, masih juga dilengkapi dengan speaker yang berisi kata-kata peringatan tentang pentingnya keselamatan di jalan yang dinyalakan dengan volume yang relatif keras. Fenomena apa pula ini? Apakah karena saking bodohnya kita? Ataukah karena sering “keras kepala nya” kita? Ataukah pihak yang berwenang masih kurang percaya? Ataukah ini hanya sekedar pemborosan uang anggaran? Atau ini hanya sekedar basa-basi? Basa-basi kok pakai suara keras-keras di jalan. Anehkan?

Lampu bangjo hanyalah benda mati. Tapi agaknya kitalah yang harus lebih cerdas untuk menyikapinya. Tak hanya kepada  lampu Bangjo. Tapi untuk segala situasi yang ada di sekitar kita. Karena ini tak hanya sekedar masalah hubungan obyek dan subyek. Bukan pula sekedar sebuah rutinitas. Tapi sejatinya adalah bagaimana kesadaran dan kesungguhan kita untuk mem-follow up dan mengimplementasikan sesuatu. Bagimana kita harus pandai memaknai sesuatu. Bagaimana kita harus piawai mengontrol ego kita. Terserah kapan kita akan menjadi obyek, kapan kita akan menjadi subyek. Obyektifitas dan subyektifitas hanyalah masalah sudut pandang. Kewajiban kita adalah melaksanakan tugas dengan baik dan benar. Baik kita diperingati dan diawasi, atau dengan tanpa keduanya.

Have a nice day.



NB: Silahkan diklik gambar tiga baris sejajar cari kata ARSIP untuk mencari artikel yang lainnya. Terima kasih.
*

Posting Komentar untuk "LAMPU BANGJO dan filosofinya"

Guno Display
Guno feed
Guno Artikel