KELAKUAN KARYAWAN HARUS KITA ANTISIPASI
Sebagai Manajer HR tugas pokoknya adalah mengelola karyawan agar kondusif (dari penerimaan karyawan sampai bila terjadi PHK), kemudian memelihara dan mengembangkan potensi karyawan sehingga mempunyai karyawan dengan hasil produktivitas yang tinggi, peningkatan pengetahuan dan kualitas, penerapan tools terkini, memastikan penerapan regulasi berjalan dengan baik, menjadi penghubung para karyawan dan Top Manajemen. Pokoknya yang bersifat rutinitas. Secara umum bila segala sesuatunya selama ini sudah berjalan tidak ada masalah, ya tidak ada masalah. Bilapun ada masalah itu sudah biasa, tidak terlalu mengagetkan. Ditangani begini atau begitu, sudah jalan. Apalagi yang bersifat regulasi, sudah baku. Itu aturan pemerintah tinggal dilaksanakan. Asal di perusahaan semua hal yang bersifat normatif sudah berjalan dengan baik, ya sudah tidak ada masalah yang berarti.
Terjadi masalah bila Top Manajemen tidak mengindahkan beberapa hal yang bersifat normatif. Sebuah contoh kecil: perusahaan tidak mau membayar finansial apapun kepada para pekerja magang, itu jelas sebuah masalah. Karena berdasarkan Kepmenaker nomor 36 tahun 2016 para pemagang mendapat uang transport. Atau tidak menghitung jam lembur sebagaimana mestinya. Atau tidak memberikan laporan data karyawan sebagaimana mestinya, itu pasti akan menimbulkan masalah karena menabrak aturan yang ada dan resmi.Di sisi lain, harus diakui terkadang ribet bila harus "menangani" Top Manajemen. Maklum secara poisisi mereka memang berada di atas kita. Mereka relatif "berkuasa". Manajer HR misalnya, hanya karyawan yang bertugas sebagai "operator" dan merekalah pemegang kendali yang sesungguhnya. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan (memecat) bila kita dianggap tidak kooperatif. Toh mereka bersedia membayar uang pesangon dan sebagainya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Tidak perduli kita sudah punya sertifikat profesi atau punya masa kerja yang relatif lama. Padahal Manajer HR juga tak kalah ribet menangani bila terjadi "masalah"di arus bawah alias pada karyawan yang biasanya justru terjadi di luar aturan kerja (job desk, absensi, komitmen kerja, dan lain-lain yang notabene tercatat baik) tapi cukup bikin pusing dalam menangani, meskipun kita sebagai Manajer HR tetap bisa saja bersikap tegas.
Bisa dipahami dalam hidup ini selalu saja ada hal hal yang terjadi di luar perkiraan kita. Namanya juga dinamisme dalam kehidupan. Siapa saja, kapan saja, di mana saja, setiap permasalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi toh bisa terjadi juga. Baik yang sudah diatur dalam Peraturan Kerja Bersama ataupun Peraturan Perusahaan.
Bahkan ada yang mengacu pada pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga mereka sangat percaya diri untuk berbuat sesuatu yang kadang berlebihan. Merasa tahu hak haknya sebagai karyawan, titik.
Cerita lucu yang berkaitan dengan itu pernah disampaikan oleh seorang teman Manajer HR. Ceritanya begini: Karena ada keperluan yang mendadak di suatu tempat dalam rangka menjalankan tugas kantor dia mengajak pekerja bagian sopir untuk mengantarnya. Sopir ini rupanya belagu, sok, merasa tahu hak-haknya sebagai pekerja. Pada saat mobil berjalan, tepat jam 12.00 dia menepikan mobilnya untuk beristirahat. Memang di tempat kerjanya (umumnya di perusahaan yang lainpun begitu) tepat jam 12.00 jatahnya untuk istirahat satu jam. Teman saya kaget, dan berusaha membujuk agar tetap jalan, tapi sia-sia. Pokoknya pas jam istirahat ya harus istirahat, katanya. Titik. Daripada saling mengotot, ya sudah, teman saya yang mengalah. Secara undang-undang ketenagakerjaan sopir itu tidak salah sih. Tapi ya jangan kebangetan seperti itu. Terlalu kaku. Ya sudah, akhirnya teman saya pergi sendirian menuju warung makan terdekat tanpa mengajak si sopir. Jengkel sih.
Tak hanya berhenti di situ. Sesampainya di kantor lagi, dia memanggil satpam. Dia pesan sama si satpam, mulai besok para sopir dilarang duduk-duduk di ruang satpam selama jam kerja. Sesuai job disknya, setelah mengecek mobil ini dan itu termasuk mencuci mobil dan sebagainya, sopir harus standby di sekitar atau di dalam mobil. Mau tiduran, baca koran, mendengarkan musik, silahkan saja. Kalau sampai tertidur pas jam kerja, tidak boleh. Kalau pas jam istirahat, boleh. Kontan, 2-3 hari para sopir di perusahaan itu menjadi kelimpungan. Mengeluh. Lha biasanya kan mereka duduk duduk sambil minum kopi di ruang sakuriti sambil menggoda para pekerja wanita. Otomatis teman temannya sopir yang lain pada mengeluh ikut terkena akibatnya karena ulah si sopir yang kebangetan tadi.
Cerita yang lain (ini terjadi di jaman Jamsostek, sebelum adanya BPJS), dimana ada karyawan yang meninggal, berhubung mempunyai golongan kerja yang cukup tinggi yang bersangkutan mempunyai simpanan besaran uang jaminan hari tua yang relatif cukup besar. Ketika istrinya mengambil uang tersebut tidak bisa karena kemarin sudah diambil oleh seorang wanita yang juga mengaku istrinya dengan menyerahkan bukti yang asli dan sah (surat nikah, KTP, KK) sesuai yang didaftarkan ke Jamsostek. Jadi pihak Jamsostek ya tidak salah, berkas buktinya valid dan sah. Ternyata yang mengambil uang adalah merupakan istri ke dua. Manajer HR di perusahan juga tidak tahu. Bahwa karyawan menikah lagi (apalagi secara diam-diam) adalah urusan yang bersangkutan. Urusan "dalam negeri" orang. Meski begitu ya mau tidak mau harus rela mendengar gerundelan istri pertama si karyawan. Memang harus diakui Manajer HR hampir sering menjadi tempat curahan hati para karyawan, yang lucunya kadang tidak terkait dengan urusan pekerjaan. Sehingga ada teman Manajer HR yang terpaksa menulis aturan begini: Bila tidak penting di soal pekerjaan, jam bicara jam 12.30 - 13.00. Seperti pengumuman jam dokter praktek saja.
Yang kejadian berikut ini sangat mungkin terjadi. Seorang karyawan bermaksud membeli rumah di perumahan. Salah satu untuk memenuhi persyaratan adalah dengan mengisi daftar gaji. Memang pihak Bank mensyaratkan setidaknya besaran cicilan adalah setidaknya sepertiga dari gaji. Lebih kecil dari itu lebih bagus. Bila segalanya dapat berjalan wajar dan memungkinkan, tentu Manajer HR tidak akan keberatan untuk membantu. Tapi karena satu dan lain hal ya terpaksa tidak bisa membantu. Di sisi lain si karyawan rasa keinginannya sangat besar untuk memiliki rumah baru sehingga melakukan hal yang seharusnya tidak perlu terjadi yaitu memalsukan data gaji, bahkan stempel dan kop surat perusahaan dipalsukan. Tentu saja hal seperti ini bisa merembet ke masalah pidana.
Kesalahan pekerja bukan karena skill pekerja sering terjadi dan bentuknya bisa bermacam-macam: kasus suap, pencemaran nama baik diantara teman, selingkuh, perkelahian, penipuan, pemerasan, adu domba, menghasut baik kepada teman di perusahaan yang sama maupun bukan. Yang kesemuanya itu dirasa sangat menganggu dan dapat mengurangi penilaian kredibilitas pekerja.
Dan tentunya masih banyak contoh kasus yang terjadi, yang kesemuanya sekali lagi tidak terkait dengan absensi kerja, pola kerja, kualitas dan kemampuan kerja (skill), dan lain-lain yang berhubungan langsung dengan pekerjaan. Harus disadari tugas Manajer HR disamping masalah penerapan dan pengembangan keilmuan sangat bersentuhan dengan sosok pribadi manusia. Manusia dengan latar belakang berbagai ilmu, sosial, budaya, dan agama. Tapi yang paling menonjol dan berperan penting dalam kehidupan keseharian adalah karakter.
Tak hanya itu, adanya tekanan mental dan situasi rumah tangga bisa terbawa ke tempat kerja. Perasaan bingung, marah, jengkel, sakit hati, sedih, bahkan rasa cemburu bukan tidak mungkin mengganggu fokus kerja, sehingga bukan tidak mungkin bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk itulah seorang Manajer HR sangat dihimbau untuk tidak duduk di belakang meja saja. Seorang Manejer HR harus persesuasif dan responsif. Bahkan juga sensitif, dalam arti harus peka apa akan yang terjadi dan mungkin terjadi di lingkungan karyawan. Bila perlu harus mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Tidak saja mau turun ke lapangan tapi juga diusahakan mau bertandang ke rumah pekerja. Melihat lingkungan mereka dan mengetahui kebutuhan sebenarnya mereka. Tidak segan-segan turun tangan menolong dan membawa buah tangan (oleh-oleh) untuk keluarga mereka, Dengan mempererat tali silaturahmi dapat meminimalisir pekerja vokal karena faktor sungkan. Bukan tidak mungkin si istri akan mencegah bila si suami akan vokal apalagi memberontak ke perusahaan. Dengan sering turun ke lapangan akan terjadi komunikasi secara timbal balik. Bahkan bisa jadi karyawan akan berani mengungkapkan permasalahan yang tidak mungkin bisa diungkapkan dalam situasi formal.
Tak hanya berhenti di situ. Sesampainya di kantor lagi, dia memanggil satpam. Dia pesan sama si satpam, mulai besok para sopir dilarang duduk-duduk di ruang satpam selama jam kerja. Sesuai job disknya, setelah mengecek mobil ini dan itu termasuk mencuci mobil dan lain-lain, sopir harus standby di sekitar atau di dalam mobil. Mau tiduran, baca koran, mendengarkan musik, silahkan saja. Kalau sampai tertidur pas jam kerja, tidak boleh. Kalau pas jam istirahat, boleh. Kontan, 2-3 hari para sopir di perusahaan itu menjadi kelimpungan. Mengeluh. Lha biasanya kan mereka duduk duduk minum kopi di ruang sakuriti sambil menggoda para pekerja wanita. Otomatis teman temannya sopir yang lain pada mengeluh ikut terkena akibatnya.
Cerita yang lain (ini terjadi di jaman Jamsostek, sebelum BPJS), dimana ada karyawan yang meninggal, berhubung mempunyai golongan kerja yang cukup tinggi yang bersangkutan mempunyai simpanan besaran uang jaminan yang relatif cukup besar. Ketika istrinya mengambil uang tersebut tidak bisa karena kemarin sudah diambil oleh seorang wanita yang juga mengaku istrinya dengan menyerahkan bukti yang asli dan sah (surat nikah, KTP, KK) sesuai yang didaftarkan ke Jamsostek. Jadi pihak Jamsostek ya tidak salah, berkas buktinya valid dan sah. Ternyata yang mengambil uang adalah merupakan istri ke dua. Manajer HR di perusahanpun tidak tahu. Bahwa karyawan menikah lagi (apalagi secara diam-diam) adalah urusan yang bersangkutan. Urusan "dalam negeri" orang. Meski begitu ya mau tidak mau harus rela mendengar gerundelan istri pertama si karyawan. Memang harus diakui Manajer HR hampir sering menjadi tempat curahan hati para karyawan, yang lucunya kadang tidak terkait dengan urusan pekerjaan. Sehingga ada teman Manajer HR yang terpaksa menulis aturan begini: Bila tidak penting di soal pekerjaan, jam bicara jam 12.30 - 13.00. Seperti pengumuman jam dokter praktek saja.
Yang kejadian berikut ini sangat mungkin terjadi. Seorang karyawan bermaksud membeli rumah di perumahan. Salah satu untuk memenuhi persyaratan adalah dengan mengisi daftar gaji. Memang pihak Bank mensyaratkan setidaknya besaran cicilan adalah setidaknya sepertiga dari gaji. Lebih kecil dari itu lebih bagus. Bila segalanya berjalan wajar dan memungkinkan, tentu Manajer HR tidak akan keberatan untuk membantu. Tapi karena satu dan lain hal ya terpaksa tidak bisa membantu. Di sisi lain si karyawan rasa keinginannya sangat besar untuk memiliki rumah baru sehingga melakukan hal yang seharusnya tidak perlu terjadi yaitu memalsukan data gaji, bahkan stempel dan kop surat perusahaan dipalsukan. Tentu saja hal seperti ini bisa merembet ke masalah pidana.
Kesalahan pekerja bukan karena skill pekerja sering terjadi dan bentuknya bermacam-macam: kasus suap, pencemaran nama baik diantara teman, selingkuh, perkelahian, penipuan, pemerasan, adu domba, menghasut baik kepada teman di perusahaan yang sama maupun bukan. Yang kesemuanya itu dirasa sangat menganggu dan dapat mengurangi penilaian kredibilitas pekerja.
Dan tentunya masih banyak contoh kasus yang terjadi, yang kesemuanya sekali lagi tidak terkait dengan absensi kerja, pola kerja, kualitas dan kemampuan kerja (skill), dan lain-lain yang berhubungan langsung dengan pekerjaan. Harus disadari tugas Manajer HR disamping masalah penerapan dan pengembangan keilmuan sangat bersentuhan dengan sosok pribadi manusia. Manusia dengan latar belakang berbagai ilmu, sosial, budaya, dan agama. Tapi yang paling menonjol dan berperan penting dalam kehidupan keseharian adalah karakter.
Tak hanya itu, adanya tekanan mental dan situasi rumah tangga bisa terbawa ke tempat kerja. Perasaan bingung, marah, jengkel, sakit hati, sedih, bahkan rasa cemburu bukan tidak mungkin mengganggu fokus kerja, sehingga bukan tidak mungkin bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk itulah seorang Manajer HR sangat dihimbau untuk tidak duduk di belakang meja saja. Seorang Manejer HR harus persesuasif dan responsif. Bahkan juga sensitif, dalam arti harus peka apa akan yang terjadi dan mungkin terjadi di lingkungan karyawan. Bila perlu harus mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Tidak saja mau turun ke lapangan tapi juga mau bertandang ke rumah pekerja. Melihat lingkungan mereka dan mengetahui kebutuhan sebenarnya mereka. Tidak segan-segan turun tangan menolong dan membawa buah tangan (oleh oleh) untuk keluarga mereka, Dengan mempererat tali silaturahmi dapat meminimalisir pekerja vokal karena faktor sungkan. Bukan tidak mungkin si istri akan mencegah bila si suami akan vokal apalagi memberontak ke perusahaan. Dengan sering turun ke lapangan akan terjadi komunikasi secara timbal balik. Bahkan bisa jadi karyawan akan berani mengungkapkan permasalahan yang tidak mungkin bisa diungkapkan dalam situasi formal.
Posting Komentar untuk "KELAKUAN KARYAWAN HARUS KITA ANTISIPASI"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.