Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BERITA SEPUTAR BPJS KESEHATAN

Belum lama ada kehebohan di BPJS Ketenagakerjaan tentang masalah pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia  56 tahun yang mengacu terbitnya Permenaker (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), yang kemudian diminta untuk direvisi oleh Presiden Jokowi, kini muncul berita yang cukup menyita perhatian masyarakat yaitu tentang  Pemerintah akan menghapus kelas rawat inap peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Kelas yang saat ini ditetapkan 1, 2 dan 3 akan menjelma menjadi kelas tunggal. Adapun kelas tunggal ini disebut sebagai kelas standar atau kelas rawat inap standar (KRIS). Saat ini Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah memiliki roadmap penerapan kelas tersebut.


DJSN sudah melakukan konsultasi publik dengan berbagai asosiasi kesehatan untuk perubahan kelas rawat inap JKN tersebut. Setelah melakukan konsultasi beberapa langkah akan mulai dilakukan di tahun ini. Salah satunya adalah uji coba penerapan kelas standar di beberapa rumah sakit. Rumah Sakit yang dipilih adalah yang dinilai paling siap untuk menerapkan kelas tunggal tersebut. Akan dilihat nanti berdasarkan data di BPJS Kesehatan dan Kemenkes dan hasil self assessment, apakah pemilihan berdasarkan provinsi atau berdasarkan jumlah beberapa rumah sakit yang menurut kami sudah siap segera implementasikan KRIS JKN (kelas standar). Seperti yang disampaikan Menkes, di tahun 2023 implementasi bertahap di mulai RSUD dan RS Swasta.


Rencana ini awalnya akan dilaksanakan pada awal 2021 lalu. Ini artinya, semua layanan rawat inap bagi pemegang kartu BPJS adalah kelas standar. Perbedaan kelas rawat inap ini yang membuat adanya perbedaan fasilitas yang diterima peserta. Sebelum kelas BPJS Kesehatan dihapus, pemerintah berencana melakukan transisi kelas rawat inap (KRI) JKN yang dibagi dalam dua kelas standar. Kelas ini adalah kelas standar A dan kelas standar B. Kelas standar A adalah kelas yang diperuntukkan bagi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN). Sementara itu, kelas standar B diperuntukkan bagi peserta Non-PBI JKN. Aturan penghapusan kelas tersebut mulai dari penyesuaian manfaat medis dan non-medis, Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) atau rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi, hingga iuran peserta. Ini artinya, semua layanan rawat inap bagi pemegang kartu BPJS adalah kelas standar. Selama ini perbedaan kelas rawat inap yang membuat adanya perbedaan fasilitas yang diterima peserta. 


Guno Display

penghapusan kelas dan penerapan kelas standar bertujuan untuk menjalankan prinsip asuransi sosial dan equitas di program JKN.   Penghapusan kategori kelas itu sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) Pasal 23 (4) yang mengatakan bahwa jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka diberikan "kelas standar". Ini hanya berlaku untuk rawat inap. Sementara rawat jalan normal seperti biasanya. "Nanti segmentasi peserta otomatis berubah, tidak ada lagi kategori peserta kelas 1, 2, dan 3," lanjut dia. Kriteria yang disusun bukanlah kriteria baru melainkan diambil dari kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, yaitu berupa Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit. 


Penerapan rawat inap kelas standar ini akan mulai berlaku pada 2022, atau paling lambat Januari 2023. Sementara soal iuran, masih belum diketahui. Sebab, saat ini masih berproses.  Iuran BPJS harus diperhitungkan berdasarkan beberapa pertimbangan, mulai dari inflasi dan biaya kebutuhan jaminan kesehatan. Yang penting juga adalah memperhatikan kemampuan membayar iuran peserta, terutama jika kita lihat di masa pandemi seperti sekarang ini.


Sementara itu dikutip dari laman MEDIA INDONESIA tanggal 24 Pebruari 2022 anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menilai Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak relevan jika dijadikan persyaratan ketika masyarakat mengurus berbagai hal, seperti membuat SIM dan SKCK, proses jual beli tanah hingga menjadi syarat untuk keberangkatan umrah.


“Menurut saya banyak pelayanan yang semestinya tidak dijadikan syarat. Misalnya orang di kelas menengah ke atas umumnya kan mereka tidak menjadi peserta BPJS karena mereka menjadi peserta asuransi swasta. Masa mereka harus dipersyaratkan membeli tanah harus mendaftar (BPJS) dulu, padahal (BPJS) enggak dipakai. Jadi menurut saya tidak relevan. Harus dicari terobosan-terobosan yang memang lebih tepat dan tepat sasaran,” kata Yahya dalam keterangan resmi, Kamis (24/1).


Politisi Partai Golkar itu menjelaskan memang tujuan inpres ini dalam rangka universal health coverage. Saat ini sendiri, kepesertaan BPJS Kesehatan baru mencapai 86 persen, dan ditargetkan pada 2024 mencapai 98 persen. Yahya menilai, seharusnya Pemerintah memiliki suatu upaya-upaya yang sistematis dan intensif, ketimbang menerapkan BPJS Kesehatan menjadi syarat di berbagai hal. "Memang semestinya ada upaya-upaya yang sistematis dan instensif, tetapi Inpres yang keluar inikan dilihat cukup memberatkan masyarakat. Karena memang banyak pelayanan yang tidak terkait langsung dengan masalah kesehatan, sehingga yang perlu dipikirkan adalah cara yang efektif untuk meningkatkan kepesertaan (BPJS Kesehatan),” papar legislator dapil Jawa Timur VIII itu. Yahya mencontohkan, misalnya, pemerintah mencari terobosan ke peserta bukan penerima upah (PBPU) yaitu peserta BPJS Kesehatan yang mandiri. Kemudian yang kedua dengan meningkatkan penerima bantuan iuran (PBI), mengingat PBI saat ini, masih banyak orang yang tidak mampu dan belum tercover oleh PBI di lapangan. "Contoh di dapil saya misalnya, banyak sekali orang yang tidak mampu yang belum menjadi peserta PBI, karena data PBI ini berasal dari DTKS dari Kemensos yang menghimpun datanya adalah para kepala dinsos-dinsos di masing-masing kabupaten kota. Sedangkan dinsos sumber datanya adalah dari kepala desa," tutur Yahya. Kalau kepala desanya objektif mungkin tidak ada masalah, tapi karena kepala desanya tidak objektif ini menjadi masalah. Sehingga orang yang didaftarkan menjadi peserta PBI ini orang yang tidak tepat, itu yang kita hadapi di lapangan,” tutup Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI tersebut. 


Bunyi Sila ke 5 dari Pancasila adalah KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA. Semoga kebijaksanaan ini dapat mewujudkan secara nyata dari maklumat isi Sila ke 5 dari Pancasila.


Guno feed

Have a nice day.




Notes: Dari berbagai sumber. Silahkan di klik tanda tiga baris di sebelah kanan atas lalu muncul kata ARSIP lalu di klik akan muncul pilihan bulan kapan tulisan dimuat. Terima kasih.


Guno Artikel

Posting Komentar untuk "BERITA SEPUTAR BPJS KESEHATAN"