BALADA RADEN ADIPATI KARNA
"Jangan menangis istriku, aku tidak tahan melihat air matamu," kata Raden Adipati Karna. "Kau tahu kesedihanku saat ini? Aku merasa sangat sedih karena aku dapat melihatmu sedang engkau tidak dapat melihatku."
Ya, yang berbicara itu dalah ruh Raden Adipati Karna. Jasadnya diletakkan dengan gagah di tengah Balairung Keraton Awangga, tempat dia jumeneng (menjabat) sebagai Adipati. Parasnya terlihat bersih dan rupawan. Pakaian kebesaran yang dikenakannya terasa menambah gagah dan berwibawa penampilannya. Ada luka sobek di dadanya akibat dihujam panah Pasopati hasil bidikan Arjuna yang juga merupakan adik tiri Raden Adipati Karna. Para punggawa duduk bersimpuh mengelilingi jasadnya dengan setumpuk perasaan sangat sedih yang sangat mendalam sekali. Kemarin dia telah gugur di Padang Kurusetra, sebuah tempat terjadinya perang besar Baratayudha, sebuah perang antara Kurawa melawan Pandawa. Raden Adipati Karna berperang membela pihak Kurawa atau Astina.
Telah tertulis di buku babat perang Baratayudha Raden Adipati Karna gugur terkena panah Pasopati dari Raden Arjuna adik tirinya. Mereka terlahir dari satu ibu, Kunti. Konon menurut cerita wajah mereka kembar seperti pinang dibelah dua. Sampai Batara Narada tidak dapat mengenalinya ketika keduanya memakai pakaian yang sama. Mana yang Adipati Karna mana yang Arjuna.
"Kau tahu istriku, sebelum bertanding denganku Arjuna datang menemuiku. Dengan duduk bersimpuh, sambil menangis sesunggukan dia berkata kepadaku, "Ayolah kakang, mari kuiringi kakang datang ke tenda Pendawa untuk bergabung dengan ibu dan semua saudara kita."
"Kau tahu apa jawabku wahai istriku? "Tidak adikku, biar kujelaskan kepadamu, bila kalian mengatakan aku memihak kepada pihak yang salah, kalian telah berpendapat salah, sebab aku akan membuktikan bahwa seseorang itu ada, seseorang menjadi apa, adalah karena tindakannya, karena pilihannya, bukan karena telah dirumuskan. Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada. Dewa-dewa tidak pernah menyabdakannya. Seorang resi memang pernah berkata padaku: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Tapi bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku sendiri. Bagiku, Surtikanti istriku, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada, dewa-dewa tak pernah menyabdakannya."
"Aku juga mengatakan kepada Arjuna, katakanlah kepada para saudara terkasih kita wahai adikku: jika kalian ingin melihatku menemukan bahagia, maka kukatakan kepadamu wahai adikku bahwa kebahagianku yang saat ini kucari adalah mati di tangan adikku sendiri. Kau tahu reaksi si Arjuna adikku itu? Dia tambah menangis sesunggukan bersimpuh di kakiku."
"Bukannya aku tidak pernah mencari kebahagian, istrriku. Pernah kucari ke berbagai penjuru dunia dimanakah dia berada? Namun yang sering kudapati hanyalah kepalsuan. Segala kepalsuan. Namun aku tidak pernah menyerah, aku terus berjuang dalam mencarinya. Kucari di mana kebahagiaan itu berada. Sampai suatu ketika aku merasa lelah. Namun sampai hari terakhir aku tidak menemukannnya juga. Kemudian aku menghibur diriku sendiri: Persetan dengan kebahagiaan, yang penting aku ada. Yang kukatakan kepada Arjuna adalah sebuah kebenaran yang sesungguhnya bahwa aku merasa sangat bahagia bila aku dapat mati di tangan adikku sendiri."
"Sedari dulu aku hidup seakan berjuang sendirian. Ibuku membuangku di aliran sebuah sungai, dan sebagaimana kau tahu aku diketemukan oleh seorang sais istana Astina. Dengan kata lain kelangsungan hidupku secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh pihak Astina, sampai aku menjabat sebagai Adipati serta membantu mendapatkan harga diri."
“Jangan kau bersedih istriku. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan. Betapa menyedihkan. Kekecewaan selalu datang menghampiriku. Bermula dari aku baru tahu bahwa aku ternyata hanyalah merupakan anak buangan. Kemudian aku menjadi bahan cemoohan dan sering diperlakukan secara tidak adil oleh banyak orang."
"Banyak orang yang mengenalku sebagai orang yang berjiwa keras, angkuh, kaku, dan sombong. Padahal itu semua adalah merupakan hasil perjuanganku dalam menghadapi kerasnya dunia. Mereka ada tidak untuk ditentang. Percuma. Mereka kaku dan sombong. Harus disiati dan dilawan dengan menuruti permainan mereka. Di lain sisi mana tega aku dengan kaum fakir miskin dan para brahmana? Mereka selalu bergulat dengan kekerasan hidup dan keprihatinan, adalah sama dengan diriku semasa dulu. Mereka berjalan dengan hanya mengandalkan kejujuran dan kesederhanaan sangat sehingga mengundang rasa kagum dan hormatku."
"Jadi wahai istriku, mereka banyak yang salah sangka kepadaku. Tapi apa peduliku? Aku tidak mempersalahkannya. Hidup dan kehidupan memang keras, tapi memang harus dihadapi bila perlu dilawan dengan menuruti apa dan bagaimana cara permainan mereka. Tidak hanya harus kuat, tapi kita harus cerdas."
"Kau tahu istriku? Dulu banyak yang merayuku untuk membela Pandawa: Kunti ibuku, Kresna, Bhisma, dan yang lainnya. Tapi aku tetap tegar menolaknya. Kehormatan adalah keteguhan hati. Dan aku sudah tegas memilih. Memilih yang terbaik dari yang terburuk. Memilih yang termudah dari yang tersulit.Dan dalam menjalani hidup kita harus memilih bukan?"
"Jadi hentikanlah tangisanmu wahai istriku. Aku pergi dengan hasil pilihanku sendiri. Dengan keputusanku sendiri. Aku pergi dengan sebuah kepastian jalan yang harus kulalui. Aku harus bersiap diri untuk menapaki sebuah jalan yang lain."
"Yang terberat, dan terasa sangat berat adalah harus meninggalkanmu dalam keadaan kamu belum siap untuk kutinggalkan. Kamu harus kehilanganku yang biasa kamu pakai untuk bersandar dalam menjalani kehidupan yang sangat keras ini. Selama ini kita harus berbagi dalam menjawab berbagai persoalan, berbagi dalam kasih sayang, dan sekarang harus kau hadapi sendiri."
Hati Adipati Karna bertambah kian sedih. Jiwanya semakin meronta. Serasa hatinya ingin menjerit dengan sangat keras.
"Aku ingin terus memandangi wajahmu yang penuh dengan keteduhan itu kekasih. Aku ingin terus berada di pelukanmu yang terasa hangat penuh dengan kebahagian dan kedamaian. Dapatkah aku menemukan yang seperti itu disana? Selamat tinggal kekasihku. Peluklah terus rasa cintaku kepadamu. Jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal."
Notes: Silahkan diklik gambar tiga baris sejajar cari kata ARSIP untuk mencari artikel yang lainnya. Terima kasih.
Posting Komentar untuk "BALADA RADEN ADIPATI KARNA"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.