Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MASIH RELEVANKAH SITI NURBAYA DI JAMAN NOW?

Alkisah ada seorang gadis yang meminta pendapat saya tentang perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Maklum dia anak perempuan satu-satunya, sehingga menjadi tumpuan keluarga. Terus terang saya juga agak tertegun dengan pertanyaan ini. Tapi bukankah sebuah pertanyaan harus dijawab? 

Setelah berpikir sejenak sebelum menjawab, saya rasa  ini harus diklarifikasi dulu. 

Pertama: Menjodohkan tentu lain dengan Menyarankan Jodoh. Menjodohkan itu bersifat pasti, atau harus mau atau tidak diberi kesempatan untuk menjawab atau menolak.  Menyarankan jodoh itu sebaliknya.

Kedua : secara logika mana ada orang tua yang tidak ingin melihat putrinya mempunyai masa depan yang baik, cerah, dan bahagia? Bahwa si calon suami secara pisik memang lebih tua, atau masih muda namun unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya, relatif kaya, atau mempunyai jabatan tinggi, terhormat, mempunyai pengaruh, dan sebagainya, dan anak gadisnya sadar dan memang mau, terus orang tuanya mau apa? Saya jadi ingat kisah Ulfa dan Syeh Puji dimana Ulfa malah menyatakan cintanya kepada Syeh Puji yang usianya sekian kali lebih tua dibanding usia Ulfa, serta sudah mempunyai anak dan istri. Padahal usia Ulfa konon waktu itu baru berusia 12 tahun. Memang tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya. Disadari atau tidak, orang tua pasti ingin agar ada jaminan anak keturunannya kelak dapat hidup langgeng dengan menapaki kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

Ketiga: Orang tuanya mengatakan:  Jalani dulu, nanti lama-lama kan mempunyai rasa cinta juga. Sebuah pendapat yang masuk akal. Hal itu bisa saja terjadi. Pepatah orang Jawa mengatakan: witing tresno jalaran soko kulino (permulaan cinta tumbuh karena terbiasa). Cinta bisa tumbuh memang karena terbiasa kumpul atau dan karena sudah muncul tanggung jawab diantara mereka yaitu mempunyai anak. 

Keempat: karena ini untuk klarifikasi, aku butuh data. kutanyai gadis itu: Sudah dikenalkan dengan si calon suaminya? Dijawab: Sudah. Saya tanya lagi: Sudah tua? Dijawab lagi: Tidak. Tapi usianya memang lebih tua sekian tahun daripada dia.

Aku membatin, berarti orang tuanya tidak ngawur. Aku bertanya lagi: Kamu tertarik kepadanya? Dia menggeleng, biasa saja tuh. Berarti itu ada dua kemungkinan: Bisa witing tresno soko kulino tadi atau tidak sama sekali. Bahkan bisa merasamuak. Berbanding terbalik 180 derajat. Saya mengingatkan bahwa apapun bisa terjadi diunia ini. Prosesnya masuk akal tapi hasilnya yang kadang dirasa tidak masuk akal. Bahkan dapat di luar dugaan.


Masalah jodoh adalah masalah yang sangat penting dan sensititif karena ini adalah salah satu rahasia Tuhan selain mati dan rejeki. Dalam jodoh ada faktor menurunkan garis keturunan, dan ini dirasa lebih berharga dari hanya sekedar masalah harta atau mengenai kecakapan wajah seseorang. Keduanya terasa tidak berarti sama sekali bila kelak tidak dapat memberikan keturunan. Keturunan adalah segala-segalanya. Meskipun sebagaian orang mengatakan "ituah esensi hidup", walau sebagian orang yang lain mengatakan yang sebaliknya. Oleh karena itu hanya keturunan yang seharusnya dapat mendamaikan orang tuanya. Di sisi lain memang ada orang tua dari si wanita yang menghendaki anaknya menikah dengan tidak melalui proses berpacaran, karena segala potensi bisa terjadi di situ, yang berakibat baik dan buruk. Seperti membeli kucing dalam karung. Seharusnya ada survei dulu. Ada proses dulu. Janganlah hidup dihargai terlalu murah. Hasilnya bisa sangat tidak seimbang. Kebahgiaan hanya menjadi lipstick saja. Dalam sebuah puisi tentang anak pada permulaan puisinya Khalil Gibran menulis kalimat: Anakmu bukanlah milikmu.


Terakhir saya tanyakan ke gadis itu: Apapakah dia menerima tawaran orang tuanya? Di menyatakan akan pikir-pikir dulu. Nah, itu bisa berarti fifty-fifty. Bisa menolak, bisa setuju. Yang terpenting dari semua itu jangan pernah mudah muncul berlandaskan hanya kepada prasangka. Harus berdasarkan unsur realita. Bayangkan bila sepanjang hidup kita hanya bergerak berlandaskan dari sebuah prasangka. Tidak berdasarkan dari sebuah kepastian. Impian bukanlah suatu obsesi.

Guno Display


Yang terakhir adalah masalah tanggungjawab. Walaupun dalam kisah di atas mendapat jodoh dikarenakan faktor dijodohkan oleh orang tua tentu bukan lantas si anak dapat terlepas dari tanggungjawab kehidupannya sendiri begitu saja. Sikap persetujuannya menanggung konsekuensi yang serius pada proses kehidupannya di masa yang akan datang. Bagaimanapun sikap pandang dan pola pikir si anak dan si orang tua sangat berbeda. Dan ingat, hidup hanya sekali saja bukan? Air yang mengalir tidak dapat kembali mengalir ke arah dari mana dia datang.


Hari ini tepat memperingati hari kelahiran Kartini, seorang tokoh wanita berdarah biru di Kabupaten di Jepara, yang direfeksikan sebagai seorang pejuang emansipasi (kesetaraan) wanita. Sehingga kisah yang tulis di atas sangat dipertanyakan relevansinya. 


Belum lama ini dalam tulisan saya yang berjudul WANITA NEKAT BERKARYA DI TENGAH KEPUNGAN BERBAGAI STIGMA, saya menulis:

Sejatinya stereotip yang mengatakan bahwa para wanita merupakan makhluk yang lemah sudah lama melekat pada diri seorang wanita. Mereka dianggap sebagai makhluk yang rapuh, cengeng, perasa, mudah terluka dan tidak dapat diandalkan. Seolah-olah itulah identitas wanita yang sebenarnya. Padahal tidak. Apalagi saat ini para wanita telah mampu mendobrak stigma tersebut. Segelintir dari mereka melawan arus dari aturan-aturan yang secara tidak resmi telah tertanam sangat kuat di masyarakat. Mereka sudah berhenti bicara menggunakan mulutnya. Mereka lebih memilih diam dan secara diam-diam menghasilkan karya serta prestasi.


Tentu ini bukan merupakan usaha yang mudah. Harus ada "pemberontakan". Secara ekstrim bila perlu. Salah satu kuncinya, harus mengetahui potensi yang ada pada diri sendiri dulu. Dapat  dikatakan, wanita saat ini jauh lebih rasional dibandingkan perasa. Dengan demikian diharapkan dia dapat memahami potensi yang tertanam pada dirinya. Satu rumusnya, boleh mendengarkan perkataan orang lain namun tidak perlu terlalu dipikir.


Tentu harus disadari bahwa yang paling tahu kemampuan seseorang adalah diri sendiri. Begitu juga pada diri seorang wanita. Terus fokus pada mimpi, jangan menoleh kanan dan kiri. Mereka, para wanita itu  menyadari bahwa mereka adalah tuan bagi diri mereka sendiri. Merekalah yang paling tahu kemampuan mereka. Akan dibawa ke mana perjalanan diri mereka, akan singgah atau berhenti di mana di dalam perjalanan itu. Awalnya mungkin akan sedikit terasa cemas untuk melangkah, tapi lihatlah para wanita yang ada di depan sekarang. Mereka semua bergerak maju. Mereka fokus pada mimpi dan terus bergerak guna mengguratkan karya.


Mereka menyadari untuk mengesampingkan rasa insecure (perasaan tidak percaya diri, malu, penakut, suka gelisah dan selalu merasa  tidak aman yang disebabkan oleh rendahnya penilaian terhadap diri sendiri). Makin lama membanding-bandingkan dengan pencapaian orang lain, maka dia akan semakin jatuh. Semakin terjatuh dari ketinggian yang ada, semakin sakit rasanya.


Mereka menyadari bukan saatnya lagi untuk merasa insecure karena kurang cantik, kurang ideal, atau kurang segalanya. Mereka merasa berharga. Perlu berhenti untuk membanding-bandingkan diri. Mereka menyadari semua orang memiliki pencapaian masing-masing, maka mereka harus  bangun untuk mendapatkan pencapaian sendiri. Usaha, kerja keras dan doa adalah kuncinya karena menjadi wanita mandiri memang tidak pernah mudah. Oleh karena itu sekali mencecap manisnya keberhasilan, dia tidak akan pernah menyesalinya.


Dulu sempat ada pendapat steoritip dimana wanita tidak boleh memiliki jabatan lebih tinggi dari laki-laki. Atau ada pendapat yang lebih ekstrim, sadis. Wanita seharusnya hanya menjadi "konco wingking (teman di dapur). Tidak. Pendapat ini tentu salah. Wanita juga mempunyai hak yang sama. Mereka tidak mau dikotak-kotakkan. Di jaman sekarang mendapatkan jabatan di pekerjaan adalah hal yang wajar. Mereka melangkah penuh percaya diri dan memberikan yang terbaik pada pekerjaan. Mereka sangat menyadari wanita dilahirkan bukan untuk bertanggung jawab atas segala aktivitas rumah tangga. Mereka menyadari  memasak, mengepel, menyuci dan sebagainya bukanlah gender-based skill melainkan life-based skill yang dapat dilakukan baik oleh kaum wanita maupun kaum pria. Kodrat wanita hanya empat saja yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Jika ada orang yang mengatakan kodrat wanita kembali ke dapur, sesungguhnya wanita mampu berbuat lebih daripada itu.


Mereka berani keluar dari zona nyaman, yang sesungguhnya tidak membuat mereka benar-benar aman dan nyaman. Sesungguhnya zona nyaman tidak selamanya nyaman. Terkadang, zona yang dianggap nyaman itu justru menjerumuskan. Yang akan mereka akan terus berkutat pada stigma-stigma tentang wanita yang harus berbuat begini, atau berbuat begitu. Yang dapat membuat tidak  berkutik karena segala sesuatunya dibatasi dengan nilai-nilai kesepakatan. 


Guno feed

Para wanita di jaman sekarang berani menentang stigma dan keluar dari zona nyaman. Bahkan berani tampil secara ekstrim. Secara mengejutkan. Ini sebagai bukti bahwa para wanita sebenarnya dapat melalui batasan-batasan tersebut. Tidak akan ada yang dapat  menghentikan bila sudah bertekad penuh. Sesungguhnya berkarya apa saja (termasuk menikah), membutuhkan kenyamanan dan ketenangan, bukan malah berupa kekangan.



Have a nice day.




Notes:  Silahkan di klik tanda tiga baris di sebelah kanan atas lalu muncul kata ARSIP lalu di klik akan muncul pilihan bulan kapan tulisan dimuat. Insyaallah setiap hari ada tulisan baru.



Guno Artikel

Posting Komentar untuk "MASIH RELEVANKAH SITI NURBAYA DI JAMAN NOW?"