Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kucing lagi, lagi-lagi kucing

Tak disangka tulisan saya tentang kucing mendapat banyak respon dari teman-teman dari berbagai komunitas. Secara komulatif ada lebih dari lima ratus respon. Dengan jumlah sebegitu dapat dipastikan jumlah yang membaca lebih dari itu sebab yang membaca ada juga yang tidak memberi respon.


Suka atau tidak suka memelihara kucing adalah sah-sah saja, boleh-boleh saja. Ini bukan tentang pertanyaan masalah benar dan salah. Meskipun diakui atau tidak pada umumnya  bagi jawaban yang sependapat dengan kita, dalam masalah apapun, akan menganggap wacana apa yang kita lempar adalah benar. Kebenaran selalu menjadi korban dari sepahaman, meskipun sepahaman tadi dalam koridor yang tidak benar. Bila hal seperti itu terjadi di masyarakat tentu akan menimbulkan gejolak. Akan terjadi dikotomi, pengkotak-kotakan.


Bahwa ada benarnya ketika ada yang berpendapat dengan memelihara kucing kita sebenarnya belajar dalam hal semakin mengasihi kepada sesama. Termasuk di dalam kita lebih memfasihkan dialog dengan sesama mahluk Tuhan. Dan interaksi yang baik itu benar-benar dilaksanakan termasuk memberi makan, membela ketika dianiaya orang lain, dan maaf, membuang kotorannya.


Guno Display

Melakukan hal-hal seperti itu secara tidak lansung akan mengajari kita tentang memilih dan memilah masalah. Akan membudayakan hati dan otak kita untuk mempelajari hal-hal yang mungkin dianggap tidak penting yang ujung-ujungnya akan membawa kita ke dalam fenomena pemikiran out of the box.


Ada kejadian lucu. Kami kedatangan seekor kucing baru. Biasa, didapat istri dari jalanan karena dia hidup sendirian tidak mempunyai keluarga. "Kasihan.." Kata istri saya memberitahu sekaligus meminta pengertian dari saya. Kami memanggilnya Cok, karena warna bulunya coklat. Dia punya kebiasaan bila dia minta makan bilang "auf". Sebuah kosakata yang tidak biasanya dari seekor kucing. Akhirnya istri saya juga ikut bilang "auf" bila akan menawari makan. Dan anehnya lagi semua kucing kami akhirnya bilang "auf" bila minta makan.


Dalam berdialog dengan kucing tentu kita tidak mengetahui bahasa kucing. Mengetahui saja tidak apalagi menguasai. Namun hebatnya kita dapat mengerti apa yang dimaui kucing dan sebaliknya. Dan "mengerti" ternyata lebih berguna daripada "mengetahui" bahkan "menguasai". 


Hal itu sama saja yang terjadi di komunitas manusia. Kita banyak yang tidak mengetahui apalagi menguasai bahasanya orang dari negara lain. Namun demikian kita tetap saja dapat mencermati dan menilai apa yang dilakukan oleh orang di negara lain tersebut. Kita bisa simpati atau membenci apa yang dilakukan oleh sekelompok orang di negara mereka. Kita bisa setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka atas tindakan mereka. Apalagi yang dilakukan akan memberikan efek ke negara lainnya, termasuk negara kita. Jangankan terjadi di negara orang lain, di satu negara kita sendiripun, yang notabene bahasanya dapat kita mengerti kita bisa dibuat tidak mengerti oleh tindakan orang yang kita anggap telah berlaku tidak benar atau yang samar-samar, atau tidak tegas. Intinya saling memahami itu terasa lebih penting daripada mengerti dan menguasai sebuah artikulasi bahasa. Yang jelas satu hal, meskipun terkadang kelakuan kucing menyebalkan, namun perkataan kucing tidak pernah menyinggung perasaan kita.


Kucing hakekatnya sama dengan kita: mereka butuh dipahami, dimengerti, disayangi, dihormati, dan diterima. Dalam hati kecil kita, akan berteriak dan memberontak bila tidak diperlukan begitu oleh lingkungan kita.


Namun dalam satu hal kucing sama dengan kita dimana mau tidak mau, suka tidak suka dibatasi oleh kewenangan. Siapa yang kuasa dia yang berwenang. Kita dihadapkan kepada "hukum rimba": Siapa yang kuat dia yang menang. Nah.


Guno feed

Have a nice day.






Guno Artikel

Posting Komentar untuk "Kucing lagi, lagi-lagi kucing"