Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SIKAP SABAR ADALAH KEDEWASAAN

 

Ada yang menarik dari wejangan Prabu Kresna di cerita Babat Bharatayudha, sebuah perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Dikisahkan perang ini adalah perang pungkasan (terakhir), perang mati-matian, perang besar. Perang yang akan menunjukkan siapa yang salah siapa yang benar. Siapa yang serakah dan siapa yang tidak serakah. Masalahnya, kadang ada orang yang sebenarnya dia mengaku berbuat serakah tapi dia punya alasan mengapa dia berbuat begitu. Alhasil, entah merasa terpaksa entah tidak, dia merasa telah berbuat benar. Pembenaran dan kebenaran tentu berbeda. Lain. Faktor yang dominan bermain sebenarnya adalah adanya kebutuhan, kepentingan pribadi. 

Kebenaran adalah sesuatu yang baku. Yang diakui oleh semua pihak. Secara sudut pandang, benar ada tiga macam: benar menurut pribadi kita, benar menurut masyarakat, benar menurut Tuhan. Bagi pribadi, orang akan tetap menilainya secara subyektif tentang "benar" ini. Akan menjadi obyektif bila orang itu mau mengakui tentang "kebenaran" dari pihak lain. Ada unsur adil di situ. Konteks yang terakhir ini adalah orang yang selalu diliputi dengan rasa kesabaran. Ketenangan. Mau menerima yang terjadi. Pasrah.

Kepentingan hampir selalu bertolok ukur pada kepentingan pribadi. Kepentingan umum (orang banyak) sering tidak dianggap penting. Dinomorduakan. Apalagi untuk kepentingan perorangan pribadi orang lain. Orang sering berdalih: kalau dia diminta memikirkan kepentingan orang lain, mengapa orang lain tidak mau memikirkan dia?

Wejangan yang diberikan Prabu Kresna adalah: sebab perang Bharatyudha ini terjadi tidak hanya karena begitu serakahnya Prabu Duryudana beserta seluruh saudaranya, tapi juga kegagalan para sesepuh (Prabu Destarata, pendeta Durna, Sengkuni, Prabu Bisma, Prabu Baladewa, Prabu Adipati Karna) gagal menjalankan perannya yaitu untuk selalu memberi petuah, semangat, pendidikan keilmuan dan soal olah jiwa dan raga yang baik dan teratur kepada para Kurawa. Akibatnya Kurawa buta tentang soal keilmuan baik ilmu tentang mengolah kejiwaan dan mengolah raga (fisik) secara benar, sehingga hanya mengandalkan kekuatan fisik secara sembarangan belaka serta yang ada di depan mata saja. Menggunakan dan mengandalkan logika yang notabene hanya mengandalkan apa yang terpampang di depan mata saja. Pakai nalar tapi tidak pakai hati. Tidak bisa berpikir secara jernih. Akibatnya Kurawa selalu gagal dalam membaca situasi permasalahan pada umumnya apalagi dalam memenangkan pertarungan. Ini tentu merupakan kebalikan dari apa yang terjadi di Pandawa. Mereka terutama dalam olah jiwa dan raga dilakukan secara benar, teliti, dan sangat terasah. Di segi keilmuan mereka telaten dan punya kesungguhan untuk mempelajari dan saling berbagi. 

Para sesepuh tadi bukannya tidak menjalankan tugasnya, sudah, tapi tidak atau kurang gencar dan bersabar. Tidak telaten. Melatih orang sesungguhnya melatih diri sendiri. Meskipun mereka sudah piawai dalam ilmu kanuragan (utamanya mengolah secara phisik untuk berperang), namun daya tahan dalam hal mengolah jiwa, intuisi, insting, mengatur alternatif, strategi, dan mengendapkan hati masih kurang. Bahkan mereka malah ada yang hanyut ikut terbawa emosi pribadi dan kata hati Kurawa dan bersedia untuk ikut berperang, meskipun dengan alasan yang berbeda. Kegagalan terbesar mereka adalah berhenti untuk mengajar dan melatih diri. Berhenti adalah gagal dalam arti yang sebenarnya. Ditambah mereka juga mempunyai kepentingan pribadi tersendiri.

Guno Display
Kesabaran sama dengan kejujuran. Asal muasalnya sama dari dalam batin. Tapi kesabaran dalam penerapannya harus diolah dari bentuk bakunya. Ada proses, ada hal-hal yang mempengaruhi sejauh mana kesabaran diterapkan, ada keterbatasan, dan tentu saja yang terkait dengan hasilnya. Kejujuran juga ada bentuk bakunya. Dia berjalan lurus saja. Diperkuat dengan komitmen dan konsisten. Tetap terbuka untuk menerima masukan tapi yang positif. Kejujuran menolak segala argumen yang bersifat kamulfase, penuh kebohongan, apalagi untuk menyiasati orang. Kejujuran tidak menerima keragu-raguan. Kejujuran bukan suatu kemalasan.

Kesabaran biasanya merujuk pada logika. Pendapat umum: sejauh masih masuk logika masalah masih bisa disabari. Akibatnya manusia bisa menjadi alergi, bila menjadi tidak sabar pada masalah-masalah yang masih masuk dalam koridor logika. Tapi bisa saja terjadi walau masalah masih masuk logika manusia namun tetap menjadi tidak sabar karena alasan sudah terlanjur jengkel. Atau masih bisa bersabar walupun sudah jengkel. Jadi memang tidak ada rumus baku. Bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Apakah dari situ bisa diukur bahwa manusia bisa dijuki sebagai mahluk yang aneh? Tidak konsisten? Yang pasti Tuhan bisa membolakbalikan hati manusia. Kesabaran bersandarkan akan ajaran Tuhan. 

Bumi terus berputar, dunia terus merangsak, terus menapaki hari-hari di kehidupan yang baru. Permasalahan terus saja mendatangi manusia dengan berbagai wajah dan bentuknya. Ada yang datang secara perlahan, ada yang datang tiba-tiba seakan menghantam. Ada yang berbentuk manis sehingga manusia terbuai, ada yang berbentuk sangat kejam sehingga manusia merasa tertekan. Tuhan bukan tidak membekali manusia apa-apa guna menghadapi semua itu: manusia punya daya pikir, cipta, rasa, karya, karsa, dan itu semua berasal pada otak dan hati manusia. Pada logika dan nurani. Kelihaian manusia dalam menangani dan mengolah masalah berbeda-beda, meski IQ dan yang lainnya sama. Bahkan yang terlahir kembarpun mempunyai  kemampuan yang berbeda. Atau meskipun mempunyai kemampuan yang sama kecepatan waktu yang dibutuhkan juga berbeda. Silahkan mirip atau kembar sekalipun dalam cara menghadapi dan hasilnya tapi pasti ada perbedaan di situ, meskipun tidak terlihat signifikan.

Menurut para ulama, tataran (kelasnya) kesabaran dibagi dalam tiga kelas katagori:
Yang pertama bersabar dalam menjalankan (taat) beribadah. Meskipun manusia sudah digembleng oleh orang tuanya atau lingkungan, tingkat kesabaran dan komitmen setiap orang berbeda-beda. Tapi bisa saja terjadi meskipun ke dua faktor di atas tidak mendominasi, toh seseorang bisa bersabar dalam menjalankan perintah agama secara otodidak. Bisa karena pengalaman, penajaman hati, diskusi, intuisi dan lain sebagainya. Ada proses, ada dialog dengan hati sendiri, ada tahapan, ada keyakinan dan keraguan, ada kepuasan karena tidak didekte meskipun oleh orang tuanya sendiri, dan sebagainya.
Yang kedua bersabar dalam usahanya untuk komit dan  konsisten.

Apakah kesabaran ada batasnya? Pertanyaan ini menggelitik karena kemampuan setiap orang pasti berbeda baik pada penerapan cara dan metodenya serta keterbatasan wawasan  antara satu dan lain orang. Jenis dan bobot permasalahan yang dihadapipun lain. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor finansial, berbagai pertimbangan (ada yang demi kebaikan malah), gengsi, perangai, intelegensia, informasi, keteguhan berpegang keyakinan dalam beragama, masingmasing orang memang lain. Belum lagi faktor eksternal. 

Kesabaran tidak ada batasnya karena kesabaran adalah terkait dengan hati, bukan finansial. Hati bersifat elastis, dan siap berkompromis. Hati bisa berdialog dengan otak (logika), meski situasi dan kondisi bisa saja menjadi faktor yang mendominasi. Namun perasaan hati dan logika bisa juga malah menjadi pendorong untuk bersikap sabar yang tak berujung, tahan banting dan bisa diandalkan. Yang hebat adalah kesabaran dalam diam. Mampu meredam rasa gejolak yang ada.

Orang yang begini berpendapat semua yang terjadi hanyalah sebuah reaksi. Harus dihadapi pula dengan reaksi yang tidak berlebihan. Jangan malah menimbulkan reaksi yang berlebihan. Yang tidak perlu.  Tapi itu semua sangat tergantung kebutuhan kita. Kepentingan kita. Persepsi kita. 

Kesabaran ada batasnya: yakni ketika anda menjadi tidak sabar. Biasanya menjadi tidak sabar adalah hanya sebagai sebuah jawaban bukan sebagai penyelesaian. Meskipun ketika anda hanya bisa menangis, kalau itu dianggap sebagai penyelesaian, ya tidak apa-apa. Sabar dan tidak sabar mengandung kosekuensi tersendiri. Termasuk persepsi dari orang lain. Bagaimanapun orang akan menilai kita. Dan kita hanya bisa bilang: ya itu terserah saja. Karena ada juga yang berpendapat: ketidaksabarannya adalah demi kebaikan kita bersama. Nah. 



*****
Guno feed
NB: Jadilah follower blog ini. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap Minggu ada tulisan baru. Untuk mempermudah mencari blog ini, simpanlah situsnya dengan cara di bookmark. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.    





Guno Artikel

Posting Komentar untuk "SIKAP SABAR ADALAH KEDEWASAAN"