Pengalaman menulis membentuk pribadi kita
Ku saruk debu-debu
Ada senyum
Ada hasad
Ada juga nyanyian lalat
Adakah suaramu?
(Sedang semesta citraku mulai hilang
satu-satu)
Puisi itu ku buat menjelang kenaikan dari kelas 2 SMP ke kelas 3. Aku menulis itu saat jiwaku mengembara mencari kehakikian Tuhan dalam kehidupan. Aku yakin Tuhan itu tidak absurd. Kehakikian kehidupan di dunialah yang absurd. Tidak abadi.
Siapa nyana, ketika di SMA Puisi itu dipersepsikan lain oleh beberapa temanku sebagai Puisi orang yang sedang jatuh cinta. Alhasil puisi itu dicopy-paste dijadikan senjata untuk merayu kekasihnya. Oh my God.
Sejak saat itu aku baru menyadari, bahwa tulisan juga bisa membantu teman. Aku ingat betul seorang teman (cowok) pada suatu hari datang kepadaku dengan membawa kertas yang bertuliskan nama seorang cewek beserta alamat rumahnya. Rupa-rupanya dia naksir dan dia minta tolong padaku untuk membuatkan surat perkenalan sekaligus merayunya. Waduh..
Tidak lebih dari tiga bulan cewek itu akhirnya dapat dipacari dia. Bahkan akhirnya dinikahinya. Hikmahnya pada waktu itu, aku jadi tahu karakter dan obsesi seorang wanita. Dalam proses dialog lewat surat itu aku menjadi tahu emosi dan apa yang dimaui wanita itu. Aku tidak tahu persis bagaimana bahtera rumah tangga mereka dilalui. Ribut dan damainya seperti apa. Yang jelas mereka kini sudah mempunyai cucu. Padahal lagi karakterku dan temanku itu jelas sangat berbeda. Toh pada akhirnya orderan terus berlanjut dari teman-teman yang lain. Untuk ucapan ulang tahunlah, untuk damailah (habis ribut), untuk curhatlah, dan sebagainya.
Ternyata menulis tak hanya mengasyikan. Tapi juga membius. Sama dengan kalau sedang bicara, asyik kalau sedang bertutur, jadi suka melantur. Apalagi dalam menulispun intonasinya bisa kita atur. Mau naik, menukik, tanda tanya atau datar-datar saja, suka-suka. Begitu juga dengan titik koma, tanda seru dan lainnya, sama saja. Apalagi endingnya, bisa dibuat lurus-lurus saja, atau berupa suasana yang menghentak.
Menulis bisa membuat orang tersenyum, tertawa, tersindir, terharu, merasa sedih, gembira, bangga, kecewa, tersanjung, bahagia, dan sebagainya. Bahkan di saat sedang menulispun bisa membayangkan kondisi yang akan terjadi demikian. Sampai di situ si penulis bisa disebut si provokator. Bahkan ada yang menjuluki “si menggemaskan”.
Ketika SMA hasrat menulisku begitu menggilakan, sampai terbit Majalah Sekolah. Namanya Dwi Adisma (Anak Didik SMA 2). Sampai sekarang majalah itu insyallah masih terbit (1982 – sekarang). Aku ikut membidani kelahirannya.
Tak hanya itu. Seorang idola bisa terinspirasi dari orang yang mengidolai. Ketika mas Prie GS menjadi nara sumber di pertamuan Anggota PHRD beberapa tahun lalu, dia menyalamiku di tempat parkir ketika aku menghantarkan beliau saat mau pulang, beliau menjabat tanganku sambil mengatakan, “Terus menulis mas. Tulisannya bagus.” Di prolog pertemuan itu di pembukaan memang sempat ku singgung sambil guyon bahwa karya cipta beliau pernah terinspirasi sebuah tulisanku di Suara Merdeka medio Agustus 2006. Padahal tulisanku hanya terpampang di Surat Pembaca yang berjudul “Apakah acara infotainment di tv itu haram?” (Saat itu ada fatwa dari MUI). Aku tahu itu karena setiap hari Minggu (waktu itu) koran Suara Merdeka menampilkan kartun sebuah keluarga, tapi ketika tulisanku muncul pada hari Jum’at, pada hari Minggunya beliau menampilkan gambar kartun Artis yang berkaitan dengan infotainment. Padahal dalam kesehariannya, akulah yang mengagumi beliau.
Bagi yang tak biasa menulis, biasanya memang begitu sulit dari mana akan memulainya. Kalau sudah biasa, menulis apa saja akan menjadi awal yang bagus. Bahkan bagi Emha Ainun Najib, si Utadz yang seniman, satu saja ayat Alqur’an, bila dijabarkan bisa menjadi tema sebuah tulisan yang menarik. Itu masuk akal. Dan itu rejeki.
Intinya, kalau aku mau menulis tak lagi demi kepuasan pribadi tapi juga diarahkan untuk kemanfaatan umum (baca: orang lain). Soal penerimaannya bagaimana, disukai bagaimana ya walauhu’alam. Saya sungguh tidak tahu. Setidaknya dalam menulis aku ingin berbagi pandangan, pendapat, pikiran. Meskipun itu tidak harus diterima.
Aku senang pada akhirnya banyak yang menulis di komunitas kami PHRD Jateng. Bahkan sekarang dalam grup, ada yang sempat nulis artikel di Koran dan dibukukukan yang sekarang berlanjut ke jilid dua. Sebuah fenomena yang sudah lama diimpikan. Meskipun gencar sih belum (maklum pada sibuk kerja sih). Ini tidak berlebihan bila mendapat apresiasi karena tulisan itu sangat bermanfaat bagi masyarakat umu dan kalangan akedimisi serta praktisi, sekaligus merangsang teman-teman untuk menulis.
Dan sesungguhnya (kalau mau) kita semua bisa. Ramainya tulisan jelas akan membuat riuh dan meriah. Itu artinya tidak hanya informasi yang akan bersliweran. Tapi juga bisa bersedekah, menciptakan opini, obsesi, koreksi, bahkan kritikan. Padahal menulis juga sejatinya bersilaturami, mencari pahala, tidak hanya bertukar pikiran dan ajang untuk berefershing. Menulis adalah curahan hati, meski tentang ilmu pengetahuan sekalipun. Komitmen dan kontinuitas yang diperlukan.
Menulis tidak hanya urusan seni. Dan di jaman sekarang secara fisik hanya mengetuk-ngetuk keyboard HP atau komputer, esensinya tetap menulis, walau otak yang berjalan. Juga hati yang berkenaan dengan ketukan biramanya.
Tapi soal nafasnya juga bisa bersifat sakral. Dan sentuhannya bisa jauh terasa dalam. Tuhanpun bertitah memberikan petunjuk, bimbingan, rahmat, serta memelihara umatNya melalui tulisan di Kitab Suci. Bacalah !!! Dan Tuhan pun mengedapankan seni tulisan jelas dalam penyampaiannya, karena bisa mudah menyentuh serta meresap dalam hati.
NB: Silahkan diklik gambar tiga baris sejajar cari kata ARSIP untuk mencari artikel yang lainnya. Terima kasih.
Posting Komentar untuk "Pengalaman menulis membentuk pribadi kita"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.