Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyikapi masalah: Apakah kita dapat pulang ke kampung halaman kita?

 

Kita punya kampung halaman. Namanya: SURGA.

Dari sanalah kita berasal dan berawal. Dari sanalah kita diberkati dan diberi bekal. Dari sanalah kita berdoa dan di doakan.

Kita ada di dunia karena kita sedang merantau, sedang berkelana. Jadi di dunia kita hanya sekedar mampir saja. Hanya berkelana sebentar. Tapi seperti yang kita tahu, keanehan telah terjadi. Apa yang seharusnya tidak pokok menjadi pokok, yang tidak pokok menjadi tidak pokok. Kita menjadi terlalu menikmati kehidupan di dunia. Terlalu bermanja-manja. Terlalu keenakan. Ada yang menjadi terbalik dan terbalik-balik. Tidak hanya yang menjadi maksud dan tujuan, tapi di berbagai cara sikap menyikapi, mengapresiasi, beradabtasi, menginisiasi, sampai yang namanya  berspekulasi dan dalam melakukan eksekusi.  Karena maksudnya berbeda, tujuannya berbeda, cara menikmatinya berbeda, cara mensyukurinya berbeda ya hasilnya juga berbeda. Itu sebuah konsekuensi logis. Suatu urut-urutan yang logis. Siapa yang membuatnya menjadi begitu? Ya kita sendirilah. Kitalah yang menjadi biang keladinya.

Ada banyak hal yang membuat kita menjadi begitu. Yang membuat kita menjadi silau dan begitu rakus sehingga begitu bersamangat  dalam mengejar kehidupan dunia yang penuh terpampang mengutamakan materi. Karena betapapun materi adalah merupakan suatu kebutuhan untuk menunjang jalannya hidup dan berkehidupan. Semua orang mengejar materi. Sebegitu banyak orang saling berlomba. Oleh karenanya kita menjadi begitu terburu-buru, terlalu bergegas yang menyebabkan kita kemudian menjadi tidak waspada dan repotnya lagi menjadi mudah marah, mudah tersinggung, tidak teliti, cermat, dan menjadi samasekali tidak mempunyai tenggang rasa.

Jangankan sempat memberi nasehat ke orang lain, nasehat kepada diri sendiripun diabaikan. Bahkan tidak pernah mengingat  nasehat. Anehnya, kalau memberi nasehat ke orang lain malah bisa, secara dalam sekali malah. Tapi dengan mudah ditebak, semua nasehatnya adalah “versi” dirinya sendiri, yang ironisnya, dia sendiri tidak akan malu-malu menabraknya sendiri. Benar, di suatu kesempatan dia mengakui bersalah, tapi dengan seiring berjalannya waktu, kesalahannya tidak jarang dianulir sendiri menjadi sebuah kebenaran menurut sudut pandangnya.

Menyikapi masalah hidup setiap orang tentu menjadi sangat relatif. Dari yang seharusnya setiap kebenaran sering berubah menjadi pembenaran diri sendiri. “Kalau orang lain boleh begitu, mengapa saya tidak boleh begitu?” adalah kata-kata yang sering terucapkan oleh banyak orang sebagai dalih. Karena banyak orang yang mengukur dan memakai ukurannya sendiri untuk menampilkan diri. Masalahnya tentu mudah ditebak, karena setiap orang mempunyai skala kebutuhan dan kepentingan sendiri-sendiri.

Karena begitu banyak permasalahan yang harus dipersiapkan, yang harus hadapi dan diselesaikan, manusia menjadi butuh banyak waktu. Padahal waktu tidak butuh manusia. Dia dengan sangat santai dan tanpa peduli terus melenggang tanpa ada perasaan. Waktu enak atau tidak, senang atau gembira, lebih atau kurang, menjadi persepsi setiap manusia. Jangankan menjadi persepsi, menjadi realitapun bisa. Tapi semua punya batas. Sang waktu yang mestinya tidak terbatas berubah menjadi terbatas tergantung menyikapinya dan cara menyikapinya. Ada yang bisa memanfaatkannya secara efektif, tepat waktu, memperkirakan waktu, atau bahkan tidak peduli. Waktu dapat menjadi berharga atau tidak berharga adalah tegantung kepada manusianya, bukan kepada waktu.

Kesibukan mencari harta tentu bukan satu-satunya yang menguras waktu bagia manusia. Masalah kehormatan, kenyamanan, kepuasan, peningkatan kemampuan, adalah juga merupakan berbagai masalah yang menjadi prioritas manusia. Mereka menempatkan semua itu sebagai perwujutan ego manusia di samping juga merupakan sebuah kebutuhan juga. Kebutuhan, pembungkusnya adalah kepentingan. Tidak ada  suatu kebutuhan tanpa disertai kepentingan. Kebutuhan bisa dikamuflase, kepentingan bisa disembunyikan. Manusia bisa menjadi robot jika kebutuhan dan kepentingan menjadi tidak terkendali dan mengalahkan hati nurani. Manusia lain yang semula menjadi teman bisa menjadi musuh bila masalah ini menjadi saling berbenturan.

Manusia mestinya tidak lupa jalan menuju ke Surga. Apalagi Tuhan sudah memberi bekal kompas, atau GPS (Global Positioning System) atau sistem navigasi yang berbasis satelit, yaitu berupa Kitab Suci. Dengan mempelajari dan berkaca kepada Kitab Suci apakah segala tindakannya sudah sesuai dengan prosedur jalan ke Surga, seharusnya tidak ada kendala  bila Kitab Suci dijadikan sebagai alat penunjuk jalan. Kitab Suci tidak pernah berkata tidak jujur, manusialah yang sering bertindak tidak jujur bahkan sering merasa tinggi hati dan tidak mengakui. Kita Suci selalu bersedia mendampingi tapi manusialah yang kadang merasa tidak butuh didampingi. Bahkan mereka kadang tidak sungkan mengejek “orang yang sering membawa Kitab Suci adalah orang kuno”, padahal mereka sendirilah yang sangat kuno.

Ketika mereka tidak bisa pulang ke kampung halaman (Surga), atau karena tersesat, sesungguhnya mereka telah menganiaya diri sendiri. Telah gagal mengambil sebuah kesempatan, yang di dalamnya terdiri banyak sekali kemanfaatan.

Menyikapi masalah itu, perlu ada sikap kearifan dan kebijaksanaan dan kesabaran. Harus disadari dan dimengerti semua kepentingan dan kebutuhan di dunia, utamanya harta, telah membutakan mata hati manusia.  Dikisahkan: dulu ada orang yang geram pada Iblis yang saat itu bersembunyi di sebuah pohon besar yang dijadikan masyarakat sekitar sebagai tempat untuk melakukan persembahan dan pemujaan Iblis. Orang itu geram dan ditebanglah pohon itu. Si Iblis diajak duel dan si Iblis lari menyelamatkan diri karena tidak ada kemampuan untuk melawan orang yang beriman itu. Beberapa hari setelahnya, si Iblis mendatangi orang itu untuk melakukan negosiasi alias tawar menawar. Si Iblis menawarkan agar pohon itu kembali tumbuh dan digunakan seperti sebelumnya untuk menyembah Iblis. Si Iblis berjanji setiap pagi akan menaruh harta yang berlimpah di balik tempat tidur orang itu. Setelah dipikir-pikir orang itu setuju. Memang pada keesokan harinya, begitu bangung tidur orang itu menemukan banyak harta di balik tempat tidurnya. Orang itu sangat senang karena menjadi kaya raya dia sekarang. Ke esokan harinya begitu lagi, ada harta lagi dan dalam jumlah yang banyak. Di hari ke tiga ya ada harta lagi. Di hari ke empat  tidak ada harta. Hari ke lima sama saja, nol besar. Maka marahlah orang itu dan dicarilah si Iblis. Ketemu, kemudian diajak duel. Apa yang terjadi? Dengan mudah si Iblis dapat mengalahkannya, karena di hati orang itu sudah tidak ada lagi keimanan kepada Tuhan tapi yang ada hanya harta, harta, dan harta. Nah, apa makna dari cerita ini, silahkan disimpulkan sendiri..

Have a nice day.





NB: Silahkan diklik gambar tiga baris sejajar cari kata ARSIP untuk mencari artikel yang lainnya.





Posting Komentar untuk "Menyikapi masalah: Apakah kita dapat pulang ke kampung halaman kita?"

Guno Display
Guno feed
Guno Artikel