Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SUDAH OBYEKTIFKAH KITA MENILAI SEBUAH KESAN?

Karena bepergian seorang diri sebenarnya saya lebih suka naik Gojek yang dengan operasional naik kendaraan roda dua. Lebih santai, lebih cepat, dan tentu saja lebih murah. Komunitas mereka lebih banyak jumlahnya, sehingga terasa lebih cepat untuk datang dalam memenuhi panggilan pemakai. Maklum, saya juga harus menyesuaikan dengan saldo gopay yang saya punyai hehehe.. Saya sering naik Gojek, disamping praktis, bukankah kita harus menerapkan pola hidup sederhana, apalagi terkait kita jarang bepergian? 


Namun karena cuaca sedang mendung, segera saya berganti keputusan: Saya memutuskan untuk beralih naik Gojek kendaraan roda 4. Bagaimanapun saya harus mendatangi acara ini karena ini ada undangan rapat penting di organisasi kami.


Benar saja, saya harus menunggu relatif agak lama sampai mobil pesanan kami datang. Sopirnya seumuran dengan adikku, ramah, berpakaian sopan, dan tampil memakai peci. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan memakai peci. Bagaimanapun peci sudah merupakan salah satu aksesori pelengkap pakaian tradisi negara kami, yang dulu pernah dipopulerkan oleh Presiden Pertama Indonesia Bung Karno. Sejak saat itu dapat dikatakan peci adalah merupakan aksesori pakaian pria resmi Indonesia untuk mengikuti acara resmi.


Saya tidak mau berspekulasi dia memakai peci itu karena mempunyai tujuan tertentu atau tidak? Karena bisa jadi pemakaian peci dimaksudkan untuk memberikan "kesan aman" yang pada gilirannya dapat mendatangkan rasa nyaman dan rileks bagi penumpangnya. Memang diakui atau tidak, watak agamis masih selalu ngetren " untuk dipercaya" alias dapat untuk merebut kepercayaan masyarakat. Lho bisa saja dia bukan seorang muslim. Memangnya tidak boleh seorang yang bukan muslim memakai peci?


Bila dia seorang muslim, di satu sisi, dengan memakai peci maka ketika dia ingin memenuhi kewajiban karena sudah masuk ke waktu sholat fardhu tertentu maka setelah berwudhu dia dapat langsung menunaikan sholat dengan aksesori pelengkap untuk mengerjakan sholat tersebut di masjid atau mushola di mana pun dia menemukannya. Lebih praktis rasanya.


Di sisi lain, bagaimanapun memberi kesan yang baik agaknya menjadi prioritas utama. Bukankah ada pepatah yang mengatakan: "Cara berpakaianmu menunjukkan (kelas) siapa dirimu?". Barangkali itu terasa sedikit meremehkan kecerdasan kita, tapi diakui atau tidak, disukai atau tidak, "kesan" terasa lebih cepat merasuk ke pemikiran kita sebelum otak kita bekerja untuk merasionalkan logika kita.


Pernah beberapa tahun yang lalu untuk menghindari risiko sweeping, sebuah restoran fast food di Semarang menambahkan peci  untuk seragam karyawannya. Kebijakan ini jelas sekali maksudnya, ingin membuat wajah restoran itu berwatak agamis secara tiba-tiba. Tidak peduli bahwa kebijakan tersebut berpotensi akan mengundang berbagai macam spekulasi pertanyaan dari yang bersifat aneh sampai yang serius, namun siapa pula yang akan peduli? Betapapun itu adalah sebuah cara yang gampang dan sederhana untuk mengamankan diri. Sama dengan tampilan para artis panas yang kemudian menjadi tampak sangat salehah ketika bulan Puasa tiba. Atau seorang koruptor kelas kakap tampil memakai peci saat melakukan sebuah jumpa pers.


Sekali lagi, kebijakan seperti itu mestinya merendahkan kecerdasan kita. Bagaimana mungkin hanya sekadar memakai peci telah dipercaya sebagai bukti "taat menjalankan perintah agama?" Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya muncul sekali saja ketika dibutuhkan? Tapi mari kita hargai keputusan yang lebih menyerupai kekonyolan itu, karena kita memang masyarakat yang gampang ditipu bahkan oleh jenis tipuan paling sederhana sekalipun. Kuncinya? Sepanjang tipuan itu memuat unsur-unsur yang kita suka: simbol dan atribut. Kita pun lantas menjadi gampang maklum.


Begitu besar toleransi kita pada atribut sehingga mendorong orang berani melakukan kekonyolan secara terbuka. Jika dia telah berdandan sedemikian rupa maka dia merasa sah telah menjadi orang yang bertakwa. Jika dia telah membawa proposal beratas nama tempat ibadah dan rumah yatim-piatu, dia telah boleh meminta sumbangan ke manapun suka. Demikianlah, zaman telah begitu maju, tapi selera kita masih tetap dianggap begitu-begitu saja dan tidak bermutu. Selera inilah yang dianggap sebagai izin bagi munculnya para penipu. Maka untuk bisa tampil seperti layaknya seorang seniman, orang cukup bermodal memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan. Padahal apakah tampil unik pasti adalah seorang seniman? Belum tentu.


Dan sesungguhnya kemunculan kebiasaan gadungan itu mestinya bisa ditekan atau dimininimalisasi jika ambisi kita atas simbol dan atribut tidak demikian kelewatan. Dengan demikian "segala keruwetan" tadi dikembalikan ke cara berpikir kita. Ke hati nurani kita. Ke cara pandang kita: Secara obyektif dan proposional atau tidak dalam menilai sebuah kesan?


Have a nice day.




Notes: Silahkan di klik tanda tiga baris di sebelah kanan atas lalu muncul kata ARSIP lalu di klik akan muncul pilihan bulan kapan tulisan dimuat. Terima kasih.


2 komentar untuk "SUDAH OBYEKTIFKAH KITA MENILAI SEBUAH KESAN?"

  1. Setuju Pak, fokus ke internalia, bukan eksternalia. Yang esensial bukan glamor asesories... salam

    BalasHapus
Guno Display
Guno feed
Guno Artikel