Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENJAGA KEHORMATAN PERTEMANAN DI MEDIA SOSIAL

Beberapa waktu yang lalu saya menerima permintaan pertemanan seorang wanita dari luar negeri (Eropa) yang menyebutkan dirinya sebagai wanita karir di bidang akuntasi di sebuah bank ternama. Kalau dilihat dari fotonya dia tampak muda dan cantik. Tubuhnya ramping, berambut pirang, dan pakaiannya sangat modis sekali. Di beberapa kali obrolan dia mengirimkan foto kepada saya, baik saat bekerja di kantor, bersantai di rumah, bahkan ketika sedang jalan-jalan. Ada pula yang sedang bermain dengan anak lelakinya yang berumur sekitar lima tahun. Dia mengaku sebagai seorang single parents. Tapi dalam hati saya berpikir, bisa saja semua foto itu dari hasil comotan milik orang lain. Tutur bahasanya sopan, dan bahkan  dia mengaku pernah datang ke Jakarta memenuhi undangan Presiden Susilo Yudhoyono untuk mengikuti konferensi sebuah profesi di tingkat internasional.


Saya meladeni obrolannya secara biasa saja, tidak nervous, tapi tentu tidak lupa sambil terus meningkatkan kewaspadaan saya. Singkat cerita sampailah pada obrolan di sesi yang keempat, dimana apa yang dia tuju mulai tampak kelihatan.


Dia mengeluh dan bercerita ingin berwirausaha tapi terkendala oleh peraturan di negaranya dimana bila bepergian keluar negeri tidak boleh membawa uang yang banyak. Sedang saudara atau teman baik yang menetap di luar negeri tidak punya, terutama di Indonesia yang merupakan cita-citanya sebagai tujuan untuk membuka usaha pribadi.


Masih kata dia, Indonesia adalah negara berkembang dengan mempunyai jumlah penduduk yang banyak. Itu jelas merupakan sebuah pasar yang besar dan bagus. Dia tertarik ingin membuka usaha perumahan swasta dan dia ingin mempunyai rumah pribadi di Bali. 


Saya diberi tugas mengurusi pendirian perusahaan barunya, menjadi karyawan kepercayaanya, termasuk membuka rekening bank dimana dia akan tranfer uang sebanyak seratus dua puluh lima miliar rupiah. Dan dari segala jerih payah saya, dia berjanji akan memberi uang kepada saya sebanyak dua setengah milyar rupiah. Untuk itu dia minta kepada saya AGAR MENGIRIMKAN SEGALA DATA SAYA MULAI DARI KTP, NPWP PRIBADI DAN SEBAGAINYA.


Tentu saja dengan tegas saya  langsung menolak tapi dengan menggunakan bahasa yang halus. Saya bilang: bahwa saya adalah orang yang bodoh, tidak berpendidikan tinggi tapi orang tua saya mengajari agar saya selalu bertindak jujur dan sopan kepada orang lain. Jadi saya bukanlah orang yang tepat untuk mengemban tugas yang diberikan itu. Oleh karenanya silahkan mencari orang lain saja. Saya dengan sangat meminta maaf. Dan sejak saat itu dia sama sekali tidak pernah menghubungi saya lagi. Saya hanya tersenyum.


Di masa yang sudah super canggih ini, tidak saja kita harus mengikuti kemajuan jaman tapi harus diimbangi dengan peningkatan kewaspadaan kita. Teknologi canggih cara penipuan juga ikut cangggih. Pemberian data pribadi kita utamanya kartu tanda penduduk jangan diberikan kepada orang lain yang tidak kita kenal dengan jelas. Bayangkan kalau identitas kita dipergunakan untuk hal-hal yang berkonotasi tidak baik alias merugikan kita, misal yang sederhana untuk data pengajuan pinjamana online. Boro-boro kita bisa menikmati uangnya, urusannya saja  tidak jelas. Itu masih mending, kalau tujuannya untuk politik, katakanlah digunakan untuk provokator, propagandais, atau didaftarkan sebagai anggota teroris, bagaimana? Repot kita. Apa kata dunia?


Itu masih lumayan. Sebagaimana yang sering kita dengar dalam berita banyak timbul kejahatan bahkan sampai ke tindakan pembunuhan yang diawali dari kencan di media massa. Teknologi yang canggih ini telah menginspirasi dan membangkitkan kreativitas untuk melakukan kejahatan, kekejian. Merangsang otak para manusia biadab untuk melancarkan aksinya. Rumus kemajuan teknologi berbanding lurus dengan kreativitas manusia untuk berkarya (baik dan buruk) terbukti di sini.


Dalam tingkat yang lebih rendah, kemajuan teknologi dimanfaatkan untuk usaha pencitraan diri dan kemunafikan. Bila keduanya dibungkus dalam kebohongan maka sesungguhnya itu adalah racun yang diminum oleh yang bersangkutan sendiri. Artinya pada akhirnya akan mencelakan dirinya sendiri. Semakin sempurna pencitraan dan kemunafikan itu dilakukan akan semakin sakit rasanya bila kepalsuan itu terbongkar.


Sebenarnya ini tidak adil. Kasihan orang lain yang benar-benar bertujuan ingin berkenalan secara baik-baik bukan? Padahal kalau sudah kenal dia ingin promosi jualan sesuatu atau bermaksud buka cabang usaha? Kan ini sama saja kita sudah menutup rejeki orang lain? Tapi ya apa boleh buat. Dalam hidup harus memilih bukan?


Malah beberapa hari ini saya mendapat permohonan ingin berkenalan dari beberapa wanita Amerika berseragam tentara dengan keterangan pernah berugas di Afganistan. Berdasarkan foto yang dirimkan meskipun wajahnya tidak secantik bintang film, tapi cukup menawan juga. Bahwa itu foto kamuflase atau tipuan (milik pihak lain) ya bisa saja. Ujung pertanyaannya biasanya menanyakan: "Saya masih lajang atau tidak?" Dan saya menjawab apa adanya. Terakhir ada permohonan perkenalan dari seorang pria yang mengaku dari Malysia dibarengi dengan kalimat memelas: "Mak cik tolonglah  saya dari keserekahan istri saya.." Tapi tidak saya respon. Jujur saja, ini memang sangat mencurigakan.


Meningkatkan kewaspadaan diri dan berprasangka jelek itu  mestinya beda. Apalagi menuduh tentang suatu keburukan. Namun apa daya kemajuan jaman dan teknologi memaksa kita untuk mencampurkan keduanya dalam satu kesatuan untaian pemikiran. Kita tidak mau berbuat begitu, tapi ditodong keadaan harus berbuat begitu.


Kemajuan teknologi membuka wacana dan fenomena baru yang seharusnya berorientasi posisitif. Yang menghasilkan profit. Namun apa daya kemajuan teknologi juga sering atau memungkinkan untuk diboncengi oleh kecanggihan perbuatan yang berorientasi pada suatu tindak kejahatan. Suatu tindak kejahatan yang tentu diprologi dengan berbagai kata manis sebagai pembujuk rayu kepada calon korbannya. Berdasarkan berita di televisi beberapa waktu terakhir ini banyak penipuan dan pembunuhan yang pada mulanya berdasarkan dari perkenalan pelaku dan korbannya melalui media massa di internet. Ini jelas sangat memprihatinkan. 


Ada yang perlu kita cermati bahwa dalam menjaga pergaulan kita harus tetap sehingga kita senantiasa tetap terlihat serta dapat terus menjaga menjaga kesopanan, kehormatan, dan performa kita dalam bermedia sosial dimana pun kita harus dapat berdialog dengan jelas dan tegas. Seandainya kita tidak menyetujui tentang sesuatu harus kita sampaikan dengan jelas dan tegas. Syukur dapat kita barengi  dengan pembawaan yang rendah hati. Dengan demikian kita dapat menempatkan diri sebagai seorang personil yang sangat diperhitungkan oleh partner bicara.


Tapi diakui atau tidak, banyak diantara kita yang menggunakan media sosial masih sebagai media berbasa-basi, bukan untuk sesuatu yang serius. Barangkali maksudnya untuk hanya sekedar melampiaskan intermezzo, sebagai hiburan saja, sebagai selingan saja. Kalau sudah begitu ya kita jangan marah atau tersinggung bila disebut kaum basa-basi. Masih suka demam panggung.


Bagaimanapun partner bicara kita juga merupakan sebuah pribadi yang mempunyai sebuah pengharapan. Bahwa dia mempunyai sebuah harapan yang tidak seperti yang kita harapkan, apa boleh buat, memang terpaksa kita dengan tegas mengambil sikap yang harus tegas, dengan tanpa meninggalkan "jati diri kita" serta dapat menjaga "kehormatan" sebuah media yang kita pakai.


Have a nice day.


                                  


Notes: 

Judul yang lain dapat dilihat di:

solusi-guno.blogspot.com

guno-idea.blogspot.com (in English)

Diusahakan setiap hari ada tulisan baru. Terima kasih.






Posting Komentar untuk "MENJAGA KEHORMATAN PERTEMANAN DI MEDIA SOSIAL"

Guno Display
Guno feed
Guno Artikel