Masih menyikapi masalah dapatkah kita pulang ke kampung halaman?
Telah disinggung dalam tulisan sebelumnya bahwa segala kesibukan berpikir, berencana dan melaksanakan kegiatan di dunia telah menempatkan diri kita sendiri menjadi pertanyaan besar: “Apakah kita dapat kembali ke kampung halaman kita?”.
Sebenarnya pertanyaan itupun masih belum lengkap dengan tambahan kalimat ”Dengan selamat?”. Kalimat yang terakhir ini lebih berfungsi sebagai “penegasan”, meskipun kalimat pertama tetap dalam konteks kalimat “pertanyaan”. Ini bisa dimengerti, walaupun “kita dapat kembali” bisa diartikan: “Jangan-jangan di perjalanan kita mendapat kendala tersesat atau bahkan kita mungkin mogok di jalan”. Mengapa bisa tersesat atau mogok di jalan bisa diasumsikan karena kita meremehkan atau tidak mempersiapkan dengan baik rencana “perjalanan” kita. Mengapa kita bisa menjadi begitu karena kita tidak mempersiapkan peta dengan baik atau perangkat untuk perjalanan kita dengan baik.
Yang terkait peta: “Jangan-jangan kita, jangankan pernah membacanya, atau bahkan, mempelajarinya, atau bahkan lagi, memahaminya, menyentuhpun tidak pernah. Konon apalagi: mengingatnya atau menguasai isinya. Sangat mengerti apa makna di dalamnya. Padahal kita diberi kesempatan hidup 24 jam kali sekian tahun alias sekian hari selama kita diberi kesempatan hidup. Di beri kesempatan untuk memilih. Dan banyak dari kita untuk menyia-nyiakan hidup bahkan kurangajarnya bahkan ada yang menertawakannya. Baik kepada orang lain yang mengingatkan kita, atau justru diri kita sendiri yang menertawakan atau tidak mengakuinya. Ini tentu sangat ironis sekali. Kenapa? Karena kelak kita sangat membutuhkan peta itu sebagai penunjuk jalan. Sebagai “salah satu jaminan” yang dapat menjamin kelak kita dapat sampai di kampung halaman kita dengan selamat. Perlu dicamkan: Jangan sampai kita salah dalam mempunyai peta. Peta palsu atau dipalsukan. Kalau tidak hati-hati kita malah dapat terjerumus.
Kendala ke dua adalah mengenai perangkat perjalanan kita. Ibarat mobil kita tidak pernah servis mobil kita, tidak pernah mengecek accu, atau mengganti oli dan sebagainya. Karena “mobil” itu adalah “pribadi” kita, kita tidak pernah melaksanakan perintah Tuhan: Melaksanakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang. Di samping itu kita tidak pernah merawat “mobil atau jiwa kita itu”. Tidak pernah mencuci dan memanasi mesin. Kita bisa pamer tentang diri atau mobil kita, namun kita tidak pernah mengurusnya. Ini sama saja kita menipu orang lain, yang sejatinya menipu diri kita sendiri. Yang ironis dan sadis: kita menuju proses merusak “mobil atau diri kita” sendiri itu. Padahal “harganya” sangat mahal bahkan tidak ternilai.
Setelah menyiapkan peta dan piranti tentu kita menyiapkan bekal kita. Berlainan dengan yang berlaku di dunia, bekal untuk pulang ke kampung halaman tidak melulu berupa uang, meskipun yang berwujud uang juga ada, misal untuk berderma. Yang tidak berujud uang adalah ibadah dan bermanfaat bagi orang lain. Memaafkan tidak berbentuk uang tapi merupakan pengejawantahan sikap berderma kita. Sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Padahal apapun yang kita berikan dengan penuh keiklasan sesungguhnya memberi untuk diri kita sendiri. Untuk kemanfaatan diri kita sendiri. Apapun itu.
Bisa dipahami bahwa setiap dari kita mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi sebenarnya itu bukan suatu alasan, meskipun situasi dan kondisi sendiri adalah suatu alasan mengapa kita tidak sama dengan yang lain. Sehingga “kekuatan” kitapun berbeda satu sama lain. Namun Tuhan telah membekali kita dengan daya pikir, nurani, dan panca indera. Itu semua sebagai bekal untuk merencanakan, melaksankan, menyiasati, dan memenangkan suasana dan “medan pertempuran”. Manusia adalah produk pikirannya. Oleh karena itu untuk menyikapi masalah yang ada pemikirannya harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga tidak mudah aus, melempen, rusak, yang intinya menyusahkan.
Ketika kita ada di alam sana tidak bisa lagi mencari kambing hitam yang dulu dengan gampang kita salahkan. Segala konsekuensi harus kita tanggung sendiri. Kesadaran masih ada tapi kecerdasan menjadi nihil. Kita menjadi sebuah titik yang tidak berarti apa-apa.
Dikisahkan saat ini banyak manusia di alam kubur menangis dan sangat memohon-mohon belas kasihan kepada Tuhan untuk dikembalikan ke dunia agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain, sesuatu yang dulu dianggap remeh tapi ternyata sangat dibutuhkan sebagai bekal di alam sana. Memberikan manfaat tidak harus mengeluarkan uang, meskipun ada yang berwujud mengeluarkan uang. Yang tidak berwujud berupa uang diantaranya berupa memaafkan dengan iklas dan berbagi ilmu yang tidak berorientasi tansaksional. Yang berbentuk uang, ada yang mengatakan: “ memang benar, uang itu dibawa mati”, yang maksudnya adalah uang yang disedekahkan, bukan untuk ikut dikubur bersama jasad.
Ketika seseorang meninggal, sesungguhnya dia tidak pergi tapi pulang lebih dulu. Bukankah kita semua suatu saat juga akan pulang?
Ketika kita dapat pulang kampung dengan selamat, itulah sejatinya "karya terbesar kita".
Ketika seseorang meninggal, sesungguhnya dia tidak pergi tapi pulang lebih dulu. Bukankah kita semua suatu saat juga akan pulang?
Ketika kita dapat pulang kampung dengan selamat, itulah sejatinya "karya terbesar kita".
*****
NB: Jadilah pengikut blog ini dan agar tidak ketinggalan setiap ada artikel baru. Beri komentar dan silahkan disebarkan. Selama ada ide insyaallah setiap sepekan ada tulisan baru. Seringlah menjenguk situs ini, karena ada tulisan yang kadang kami jadwal secara otomatis untuk terbit setidaknya minimal dua kali dalam sepekan. Insyaallah. Ingat google Guno HRD. Jangan lupa klik tulisan Subscribe Us. Terimakasih telah mengunjungi perpustakaan kami.
Posting Komentar untuk "Masih menyikapi masalah dapatkah kita pulang ke kampung halaman?"
1. Komentar harus relevan.
2. Komentar harus sopan.
3. Komentar dari yang beridentitas jelas.
4. Komentar harus singkat, padat, jelas.
5. Dll.